Senin, 18 Februari 2019

Sejarah Hidup Rasulullah Ditulis Ulama Spanyol Abad 11 M


Ad Durar fi Sirati Ar-Rasul adalah buku sirah nabawiyah, mengupas sejarah hidup manusia termulia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Buku ini termasuk karya klasik yang ditulis oleh Ibnu Abdil Barr, sarjana Muslim asal Cordoba-Spanyol abad ke-11 M (4 Hijriyah). Penulis menjadikan kitab-kitab sirah paling awal sebagai referensi seperti sirah karya Musa bin Uqbah, sirah Ibnu Hisyam, dan yang lainnya.


Penulis memulai pembahasan dari nasab Rasulullah, kelahiran, diutus menjadi Nabi, dakwah beliau di Makkah, hijrah, peperangan-peperangan yang terjadi, sampai wafatnya beliau. Sebagaimana kebiasaan para penulis terdahulu, mencantumkan sanad (jalur periwayat) secara lengkap ketika menulis suatu riwayat. Ini juga yang dilakukan Ibnu Abdil Barr.

Beliau juga mencatat secara lengkap nama-nama sahabat yang mula-mula masuk Islam, sahabat yang hijrah ke Habasyah, dan korban-korban peperangan.


Buku ini disusun secara ringkas, tidak begitu tebal sehingga tidak membosankan bagi pembaca pemula yang baru ingin mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Judul buku : Ad Durar fi Sirah Ar Rasul Ikhtisar Kehidupan Nabi Muhammad saw
Penulis      : Ibnu Abdil Barr
Tebal         : 344 halaman
Penerbit     : Darul Uswah

Selasa, 05 Februari 2019

Berkaca pada Sejarah



Bobrick dalam bukunyaThe Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, mengutip perkataan seorang Kristen yang menggambarkan kondisi orang-orang Kristen di Spanyol (Andalusia) ketika negeri itu dipimpin oleh Islam, yakni Daulah Umawiyah:

Saudara-saudaraku sesama Kristen….,tulisnya, “menikmati puisi-puisi dan cerita roman orang Arab, mempelajari karya para pemikir Mohammedan (Islam) bukan untuk menyangkalnya, namun untuk memperoleh gaya bahasa Arab yang benar dan elegan. Terutama di kalangan anak muda Kristen, komentar Alkitab berbahasa Latin diabaikan dan sastra Arab menjadi mode. Mereka menghabiskan seluruh uang membeli buku-buku Arab, di mana-mana dan dengan penuh semangat menyanyikan puji-puji adat istiadat Arabia.” Yang lebih ia sesalkan, “Mereka lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Ibu mereka.”

Mereka disebut Kristen Mozarab (Musta’rib) atau Kristen yang ter-Arab-kan. Mereka adalah orang-orang Spanyol asli yang mengikuti budaya dan pola hidup umat Islam di Spanyol tapi tetap dalam agama mereka, Kristen. Kaum Kristen Mozarab banyak dijumpai di pusat pemerintahan Islam di Cordova. Mereka tinggal bersebelahan dengan umat Islam yang toleran, dibebaskan menjalankan agama keyakinan mereka tanpa ada intimidasi dan pemaksaan untuk meninggalkan agama mereka dan masuk agama Islam. Selain Cordova, orang-orang Kristen Mozarab juga dijumpai di kota-kota penting Andalusia seperti Sevilla, Merida, Toledo, dan lainnya.

Orang-orang Mozarab banyak mengadopsi kebudayaan kaum Muslimin dalam hal bahasa, cara berpakaian (wanitanya memakai baju yang lebih panjang dan kerudung), model rambut, pola pernikahan, berkhitan, pembatasan makan (tidak makan babi), menyembelih hewan, dan sastra. Mereka hampir tak bisa dibedakan dengan orang Arab- Muslim itu sendiri.


Orang-orang Mozarab di Andalusia memakai jubah dan sorban
Lalu, kita lihat di masa kita sekarang ini, yang terjadi adalah sebaliknya, umat Islam lebih banyak mengikuti mode mereka (Kristen-Barat), bahkan saling berbangga dalam menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa agamanya. Mereka lebih menyesalkan tak dapat menguasai nyanyian berbahasa Inggris ketimbang menyesalkan tidak dapat shalat khusyu’ karena tidak mengerti arti ayat-ayat yang dibaca oleh sang Imam.

Mungkin ada di antara sahabat yang menganggap ini hanya masa lalu dan tak akan terulang kembali. Merekakatakan ,”Berhenti bernostalgia!”

Untuk orang seperti ini,saya biarkan Dr. Abdul ‘Azhim Mahmud ad-Dib yang menjawabnya, “Sejarah adalah pengetahuan tentang masa kini dan masa depan. umat yang mampu bertahan adalah umat yang memiliki kesadaran akan sejarahnya, mereka selalu memperhatikan masa lalu, memahami masa kini dan menentukan masa depannya.”

Sahabat bisa melihat apa yang dikatakan mantan Persiden Amerika, George W. Bush ketika hendak menyerang Afganistan di awal 2000 silam.

This Crusade, this war on terrorism, is going to take a long time.

Jendral Graud ketika menyambangi Suriah, setelah Prancis merebut Suriah dari Turki Utsmani. Ia mendapati makam Shalahuddin al-Ayyubi[1], lalu menendangnya seraya berucap, “Saladin, bangun! Kami kembali!

Lihat, bagaimana seorang Bush membombardir negara Muslim yang miskin itu dengan mengangkat tema perang yang mulai terjadi tahun 1096: “The Crusade” alias “Perang Salib”. Artinya, Bush pun melihat sejarah yang terjadi berabad-abad silam dalam melakukan penyerangan di abad ke-21.

Saya menyebutnya dendam sejarah, karena kala itu pihak Kristen Barat kalah dalam Perang Salib yang berlangsung selama beberapa abad hingga mereka memutar otak dan berpikir keras untuk mengalahkan Islam. Islam tidak mungkin dapat mereka kalahkan dengan peperangan fisik, sehingga muncullah perang pemikiran (ghazw al-Fikr) yang kini dapat kita lihat dampaknya. Luar biasa!

Karena itu, bukalah mata, buka pikiran, bacalah sejarah. Dengan melihat sejarah Islam  itu kita akan termotivasi untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Bisa dilihat, Turki hari ini sedang gencar-gencarnya menghapus sistem sekularisme yang diterapkan di sana pasca runtuhnya khilafah tahun 1924 M oleh Mustafa Kemal. Para wanita yang dulunya dilarang berjilbab, sekarang sudah banyak mengenakannya dengan bangga. Artinya, mereka melihat sejarah. Mereka rindu masa-masa indah, di bawah kekhalifahan Islam sehingga dengan begitu mereka menjadi bersemangat dan berniat mengembalikan kejayaan itu.

Wallahu A’lam




[1]  Tokoh Islam padaPerang Salib III, Pembebas BaitulMaqdis.

Minggu, 03 Februari 2019

Dolmabahce, Istana Para Sultan




Dinasti Utsmaniyyah yang berkuasa di Turki selama ratusan tahun meninggalkan banyak peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya. Istana Dolmabahce salah satu di antaranya.

Dolmabahce Palace atau dalam bahasa Turki Dolmabahce Sarayi terletak di distrik Besiktas, tepi bagian Eropa Selat Bosphorus, Istanbul-Turki. Istana yang memiliki luas sekitar 45.000 meter persegi ini merupakan hasil rancangan tiga arsitek asal Armenia, yaitu Garabet Balyan, Nigogayos Balyan, dan Evanis Kalfa. Pembangunan istana ini atas perintah Sultan Abdul Majid I, penguasa ke-31 Dinasti Utsmaniyah.

Istana Dolmabahce dulunya menjadi tempat kediaman resmi enam penguasa Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1856 sampai 1923 M. Sebelum Dolmabahce, para penguasa Dinasti Utsmaniyah tinggal di Istana Topkapi.

Pembangunan istana yang memadukan antara model arsitektur Eropa dan model arsitektur Turki Utsmaniyah ini menghabiskan biaya yang sangat besar, yakni senilai 35 ton emas atau setara dengan lima juta pound emas. Sebelum membangun istana di lokasi ini, telah ada sebuah tempat peristrahatan Sultan Salim I.

Istana Dolmabahce terdiri atas tiga bagian utama. Pertama, ruang khusus yang diperuntukkan bagi kaum pria yang dalam bahasa Turki disebut “Mabeyn-I Humayun” atau “Selamlik”. Kedua, ruang khusus untuk menyambut negarawan dalam upacara kenegaraan yang penting, yang dalam bahasa Turki disebut “Muayede Salonu”. Di dalam ruang Ceremonial Hall, terdapat lampu kristal hadiah dari Ratu Victoria. Lampu kristal itu  terdiri dri 750 lampu dengan berat 4,5 ton.  Dan ruang yang ketiga, ruang harem yang dikhususkan untuk keluarga kesultanan yang dalam bahasa Turki disebut “Harem-i Humayun”.

Di dalam istana ini terdapat 285 kamar dan juga tangga yang disebut dengan crystal staircase. Tangga berbentuk dua tapal kuda yang dihampari karpet dari kulit beruang ini merupakan hadiah penguasa Rusia yang dibuat dari kristal, tembaga, dan kayu mahoni. Mungkin, karena mengikuti model istana Versailles di Paris, di istana yang memiliki 46 aula, 68 kamar kecil dan 6 pemandian ini ditiadakan dekorasi kaligrafi ayat-ayat Alqur’an seperti halnya di Istana Topkapi.

Keluar dari istana di halaman bagian belakang Nampak pemandangan laut selat Bosphorus tepat di depan mata. Pemandangan lepas ke laut dan taman pada sisi samping bangunan istana ini menambah menarik suasana lingkungan istana. Berbeda dengan istana Versailles di Paris meskipun memiliki taman luas dan indah tapi tidak ada pemandangan lautnya.

 Dijadikan Museum


Istana Dolmabahce pertama kali didiami oleh Sultan Abdul Majid I, sultan ke-31 Dinasti Utsmaniyah yang berkuasa pada tahun 1839 sampai 1861 M. Setelah Dinasti Utsmaniyah runtuh, Istana Dolmabahce  menjadi milik Republik Turki. Mustafa Kemal Ataturk, penguasa Turki setelah berakhirnya Dinasti Utsmaniyah sekaligus presiden Republik Turki Sekuler pertama, menjadikan istana ini sebagai tempat kediamannya.

Ketika menderita penyakit mematikan, Mustafa Kemal dirawat di istana ini. Ruangannya dikenal dengan nama Ataturk’s Room. Mustafa Kemal meninggal di istana ini pada tanggal 10 November 1938 pada pukul 09.05. Di istana ini semua jam diberhentikan pada jam 09.05 untuk mengenang meninggalnya Bapak Sekuler Turki itu.

Sejak tahun 1984 sampai dengan hari ini, Istana Dolmabahce menjadi museum dan masih sering digunakan untuk berbagai acara kenegaraan, seperti konferensi dan sebagainya. Tidak sedikit wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi istana bersejarah di Turki ini. Keindahannya yang menyerupai Istana Versailles di Paris menjadi daya tarik tersendiri.