16.11 -
Kisah,Sejarah Islam
No comments
Berkaca pada Sejarah
Bobrick
dalam bukunyaThe Caliph’s Splendor:
Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, mengutip perkataan seorang Kristen yang menggambarkan kondisi
orang-orang Kristen di Spanyol (Andalusia) ketika negeri itu dipimpin oleh
Islam, yakni Daulah Umawiyah:
“Saudara-saudaraku sesama Kristen….,” tulisnya,
“menikmati puisi-puisi dan cerita roman
orang Arab, mempelajari karya para pemikir Mohammedan (Islam) bukan untuk
menyangkalnya, namun untuk memperoleh gaya bahasa Arab yang benar dan elegan.
Terutama di kalangan anak muda Kristen, komentar Alkitab
berbahasa Latin diabaikan dan sastra Arab menjadi
mode. Mereka menghabiskan seluruh uang membeli buku-buku Arab, di mana-mana dan
dengan penuh semangat menyanyikan puji-puji adat istiadat Arabia.” Yang lebih
ia sesalkan, “Mereka lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Ibu mereka.”
Mereka
disebut Kristen Mozarab (Musta’rib) atau Kristen yang ter-Arab-kan. Mereka
adalah orang-orang Spanyol asli yang mengikuti budaya dan pola hidup umat Islam
di Spanyol tapi tetap dalam agama mereka, Kristen. Kaum Kristen Mozarab banyak
dijumpai di pusat pemerintahan Islam di Cordova. Mereka tinggal bersebelahan
dengan umat Islam yang toleran, dibebaskan menjalankan agama keyakinan mereka
tanpa ada intimidasi dan pemaksaan untuk meninggalkan agama mereka dan masuk
agama Islam. Selain Cordova, orang-orang Kristen Mozarab juga dijumpai di
kota-kota penting Andalusia seperti Sevilla, Merida, Toledo, dan lainnya.
Orang-orang
Mozarab banyak mengadopsi kebudayaan kaum Muslimin dalam hal bahasa, cara
berpakaian (wanitanya memakai baju yang lebih panjang dan kerudung), model
rambut, pola pernikahan, berkhitan, pembatasan makan (tidak makan babi),
menyembelih hewan, dan sastra. Mereka hampir tak bisa dibedakan dengan orang
Arab- Muslim itu sendiri.
Orang-orang Mozarab di Andalusia memakai jubah dan sorban |
Lalu,
kita lihat di masa kita sekarang ini, yang terjadi adalah sebaliknya, umat
Islam lebih banyak mengikuti mode mereka (Kristen-Barat), bahkan saling
berbangga dalam menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa agamanya. Mereka
lebih menyesalkan tak dapat menguasai nyanyian berbahasa Inggris ketimbang
menyesalkan tidak dapat shalat khusyu’ karena tidak mengerti arti ayat-ayat
yang dibaca oleh sang Imam.
Mungkin
ada di antara sahabat yang menganggap ini hanya masa lalu dan tak akan terulang
kembali. Merekakatakan
,”Berhenti bernostalgia!”
Untuk orang
seperti ini,saya biarkan
Dr. Abdul ‘Azhim Mahmud ad-Dib yang menjawabnya, “Sejarah adalah pengetahuan
tentang masa kini dan masa depan. umat yang mampu bertahan adalah umat yang
memiliki kesadaran akan sejarahnya, mereka selalu memperhatikan masa lalu, memahami
masa kini dan menentukan masa depannya.”
Sahabat
bisa melihat apa yang dikatakan mantan Persiden Amerika, George W. Bush ketika
hendak menyerang Afganistan di awal 2000 silam.
This Crusade, this war on terrorism, is
going to take a long time.
Jendral
Graud ketika menyambangi Suriah, setelah Prancis merebut
Suriah dari Turki Utsmani. Ia mendapati makam Shalahuddin al-Ayyubi[1],
lalu menendangnya seraya berucap, “Saladin, bangun! Kami kembali!
Lihat,
bagaimana seorang Bush membombardir negara Muslim yang miskin itu dengan
mengangkat tema perang yang mulai terjadi tahun 1096: “The Crusade” alias
“Perang Salib”. Artinya, Bush pun melihat sejarah yang terjadi berabad-abad
silam dalam melakukan penyerangan di abad ke-21.
Saya
menyebutnya dendam sejarah, karena kala itu pihak Kristen Barat kalah dalam
Perang Salib yang berlangsung selama beberapa abad hingga mereka memutar otak
dan berpikir keras untuk mengalahkan Islam. Islam tidak mungkin dapat mereka
kalahkan dengan peperangan fisik, sehingga muncullah perang pemikiran (ghazw al-Fikr) yang kini dapat kita lihat dampaknya. Luar biasa!
Karena
itu, bukalah mata, buka pikiran, bacalah sejarah. Dengan melihat sejarah
Islam itu kita akan termotivasi untuk
mengembalikan kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Bisa dilihat, Turki hari ini
sedang gencar-gencarnya menghapus sistem sekularisme yang diterapkan di sana
pasca runtuhnya khilafah tahun 1924 M oleh Mustafa Kemal. Para wanita yang
dulunya dilarang berjilbab, sekarang sudah banyak mengenakannya dengan bangga.
Artinya, mereka melihat sejarah. Mereka rindu
masa-masa indah, di bawah kekhalifahan Islam sehingga dengan begitu mereka
menjadi bersemangat dan berniat mengembalikan kejayaan itu.
Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar