Rabu, 21 Januari 2015

Membaca Sejarah

Kristen Mozarab
Bobrick dalam bukunya, mengutip perkataan seorang Kristen yang menggambarkan kondisi orang-orang Kristen di Spanyol (Andalusia) ketika negeri itu dipimpin oleh Islam, yakni Daulah Umawiyah.

“saudara-saudaraku sesama Kristen….” Tulisnya, “Menikmati puisi-puisi dan cerita roman orang Arab, mempelajari karya para pemikir Mohammedan (Islam) bukan untuk menyangkalnya, namun untuk memperoleh gaya bahasa Arab yang benar dan elegan. Terutama di kalangan anak muda Kristen, komentar alkitab berbahasa latin diabaikan dan sastra Arab menjadi mode. Mereka menghabiskan seluruh uang membeli buku-buku Arab, di mana-mana dan dengan penuh semangat menyanyikan puji-puji adat istiadat Arabia.” Yang lebih ia sesalkan, “Mereka lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Ibu mereka (bahasa Latin).”

Mereka disebut Kristen Mozarab (Musta’rib) atau Kristen yang ter-Arab-kan. Mereka adalah orang-orang Spanyol asli yang mengikuti budaya dan pola hidup umat Islam di Spanyol tapi tetap dalam agama mereka, Kristen. Kaum Kristen Mozarab banyak dijumpai di pusat pemerintahan Islam di Cordova. Mereka tinggal bersebelahan dengan umat Islam yang toleran, dibebaskan menjalankan agama keyakinan mereka tanpa ada intimidasi dan pemaksaan untuk meninggalkan agama mereka dan masuk agama Islam. Selain Cordova, orang-orang Kristen Mozarab juga dijumpai di kota-kota penting Andalusia seperti Sevilla, Merida, Toledo, dan lainnya.

Orang-orang Mozarab banyak mengadopsi kebudayaan kaum Muslimin dalam hal bahasa, cara berpakaian (wanitanya memakai baju yang lebih panjang dan kerudung), model rambut, pola pernikahan, berkhitan, pembatasan makan (tidak makan babi), menyembelih hewan, dan sastra. Mereka hampir tak bisa dibedakan dengan orang Arab Muslim itu sendiri.

Lalu, kita lihat di masa kita sekarang ini, yang terjadi adalah sebaliknya, umat Islam lebih banyak mengikuti mode mereka (Kristen-Barat), bahkan saling berbangga dalam menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa agamanya. Mereka lebih menyesalkan tak dapat menguasai nyanyian berbahasa Inggris ketimbang menyesalkan tidak dapat shalat khusyu’ karena tidak mengerti arti ayat-ayat yang dibaca oleh sang Imam.

Mungkin ada di antara kita yang menganggap ini hanya masa lalu dan tak akan terulang kembali. Berhenti bernostalgia. Saya biarkan Dr. Abdul ‘Azhim Mahmud ad-Dib yang menjawabnya, “Sejarah adalah pengetahuan tentang masa kini dan masa depan. umat yang mampu bertahan adalah umat yang memiliki kesadaran akan sejarahnya, mereka selalu memperhatikan masa lalu, memahami masa kini dan menentukan masa depannya.”

Kita bisa melihat apa yang dikatakan mantan Persiden Amerika, George W. Bush ketika hendak menyerang Afganistan di awal 2000 silam.

This Crusade, this war on terrorism, is going to take a long time.

Sama halnya dengan Jendral Geraud yang datang ke Suriah, setelah Prancis merebut Suriah dari Turki Utsmani. Ia mendapati makam Shalahuddin al-Ayyubi (Tokoh Perang Salib, Pembebas Bait al-Maqdis), lalu menendangnya seraya berucap, “Saladin, bangun! Kami kembali!

Lihat, bagaimana seorang Bush membombardir negara Muslim yang miskin itu dengan mengangkat tema perang yang mulai terjadi tahun 1096: “The Crusade” alias “Perang Salib”. Artinya, Bush pun melihat sejarah yang terjadi berabad-abad silam dalam melakukan penyerangan di abad 21.

Saya menyebutnya dendam sejarah, karena kala itu pihak Kristen Barat kalah dalam Perang Salib yang berlangsung selama beberapa abad hingga mereka memutar otak dan berpikir keras untuk mengalahkan Islam. Islam tidak mungkin dapat mereka kalahkan dengan peperangan fisik, sehingga muncullah perang Pemikiran (ghazw al-Fikr) yang kini dapat kita lihat dampaknya. Luar biasa!.

Karena itu, bukalah mata, buka pikiran, bacalah sejarah. Dengan melihat sejarah Islam  itu kita akan termotivasi untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Bisa dilihat, Turki hari ini sedang gencar-gencarnya menghapus sistem sekularisme yang diterapkan di sana pasca runtuhnya khilafah tahun 1924 M oleh Mustafa Kemal. Para wanita yang dulunya dilarang berjilbab, sekarang sudah banyak mengenakannya dengan bangga. Artinya mereka melihat sejarah. Mereka rindu masa-masa indah, di bawah kekhalifahan Islam sehingga dengan begitu mereka menjadi bersemangat dan berniat mengembalikan kejayaan itu.