Minggu, 20 Agustus 2017

Ulama Nasional Penulis Ratusan Buku

Buya Hamka
Jasadnya memang sudah lama tiada, tapi karya-karyanya yang masih tetap hidup dan dibaca oleh jutaan ummat Islam pada hari ini. Dia adalah ulama kharismatik Haji Abdul malik Karim Amrullah.

Tokoh kelahiran Maninjau, Sumatera Barat 17 Februari 1908 ini dikenal dengan nama Hamka. Singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ayahnya, Syaikh Dr. Abdul Karim Amrullah seorang ulama besar di Minangkabau, pendiri Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di madrasah itulah Hamka belajar agama dan bahasa Arab.

Setelah melewati masa kecil belajar di Sumatera Thawalib, pada tahun 1924 Hamka merantau ke Pulau Jawa, tepatnya di Yogyakarta. Di sana, ia belajar dari tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI) seperti HOS Cokroaminoto, Haji Fachruddin, RM Soeryopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Baru setahun di Jawa, Hamka diminta pulang oleh sang ayah untuk membantunya mengembangkan “Muhammadiyah” di Padang Panjang. Hamka akhirnya kembali ke tanah kelahirannya di usia 17 tahun. Ketika pulang, ia banyak dipuji oleh orang-orang di kampungnya. Hamka disebut-sebut sebagai penerus Dr. Abdul Karim Amrullah sebagai ulama besar di Minangkabau.

Ketika sekolah Muhammadiyah dibuka di Padang Panjang, Hamka melamar menjadi guru. Tetapi ia ditolak karena tidak memiliki ijazah diploma. Merasa kecewa, Hamka pun berniat menimba ilmu ke Makkah. ia berusaha sendiri agar bisa ke sana. bagi Hamka, Makkah adalah tempat yang tepat untuk menimba ilmu agama lebih dalam. Ia hanya menyampaikan niatnya itu kepada kakeknya. Adapun ayahnya tidak mengetahui.

Dengan bekal seadanya, Hamka berhasil ke Makkah menaiki kapal laut miliki Belanda. Di Makkah dia bermukim di rumah Syaikh Amin Idris. Selama di Makkah, Hamka berusaha memperlancar bahasa Arabnya walaupun dengan sesama orang Indonesia yang bermukim di sana. Hidupnya di sana tidak mulus, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Hamka bekerja sebagai pegawai di sebuah percetakan. Di sela-sela pekerjaannya dari pagi sampai sore, ia memanfaatkan waktu istrahatnya dengan membaca berbagai macam buku yang tedapat di gudang percetakan itu.

Hamka ingin tinggal lebih lama di Makkah untuk menimba ilmu lebih banyak lagi. Namun, sekitar tujuh bulan di sana, ia bertemu dengan Haji Agus Salim. Orang yang dihormati Hamka itu menyuruhnya untuk pulang ke Tanah Air. Atas nasihat Haji Agus Salim, Hamka pun kembali ke Nusantara setelah melakukan ibadah haji. Dengan begitu, di usianya yang masih 18 tahun, Hamka telah memiliki gelar Haji di depan namanya. Haji Malik.

Setelah pulang ke Padang Panjang, Dr Abdul Karim Amrullah sangat terharu melihat kedatangan putranya yang telah “menghilang” tujuh bulan lamanya. Ia merasa bangga melihat putranya itu yang akan menjadi penerusnya sebagai ulama dan sastrawan. Apalagi telah membawa pulang “titel” haji.

Menulis di Surat Kabar

Pada kurun tahun 1930-an, Hamka ke Medan, di sana ia dipercaya mengisi rubrik Tasawuf Modern majalah Pedoman Masyarakat yang terbit setiap pekan. Tulisannya dapat memikat para pembaca baik yang awam maupun kalangan terpelajar. Hal itu juga yang menjadi media penghubung dirinya dengan para tokoh intelektual lainnya seperti M.Natsir, Muhammad Isa Anshari, dan Hatta.

Meskipun tidak memiliki ijazah formal, Hamka tidak menyerah. Ia adalah seorang autodidak. Banyak bidang ilmu yang dikuasainya, seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Dia juga mahir berbahasa Arab yang dengan itu dia dapat meneliti berbagai karya-karya besar para intelektual Islam di Timur dan Barat.

Hamka juga seorang aktivis dakwah. Dia aktif di Muhammadiyah untuk waktu yang sangat lama dan dengan berbagai jabatan yang telah diembannya. Pada tahun 1977, Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, dia adalah Ketua MUI pertama padahal dia tidak memiliki ijazah dan pendidikan formal. Tapi ilmunya cukup membuat orang-orang yakin mengangkatnya sebagai ketua.

Penulis Produktif

Sampai hari ini orang-orang seperti merasakan Hamka masih hidup. Hal itu karena karya-karyanya yang bertebaran dan masih dapat kita nikmati sampai hari ini. di antara karyanya adalah Falsafah Hidup, Mengembara di Lembah Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan masih banyak lagi.


Novelnya berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bahkan diangkat ke layar lebar. Sedangkan yang paling populer adalah karyanya dalam bidang tafsir yang kita kenal dengan Tafsir Al-Azhar 30 Juz. Tafsir Al-Azhar ditulisnya ketika mendekam di penjara pada masa Orde Lama sekitar dua tahun lamanya.

Rabu, 09 Agustus 2017

Imam Ahmad dan Madzhabnya

Karya Imam Ahmad bin Hanbal

Pendiri Madzhab Hanbali Penulis Kitab Al-Musnad

Dia adalah seorang imam besar, al-hafizh, ulamanya kota Baghdad. Sampai hari ini, madzhab fiqihnya banyak diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri.

Namanya adalah Ahmad bin Hanbal bin Asad Adz-Dzuhli Asy-Syaibani, lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriyah. Ia lebih muda sekitar 14 tahun dari Imam Asy-Syafi’i. Sejak usia 16 tahun Ahmad bin Hanbal telah berkeliling dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu. Ia telah melakukan perjalanan ke berbagai kota pusat ilmu pengetahuan seperti di Kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Khurasan, dan Syam.

Dari negeri-negeri yang dikunjunginya itu, Imam Ahmad belajar kepada ulama-ulama besar. Ia berguru kepada Sufyan bin Uyainah di Makkah dan Abdurrazzaq Ash-Shan’ani di Yaman. Dan guru yang paling dekat dengannya, sekaligus menjadi sahabatnya adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Tidaklah mengeherankan, setelah pencarian ilmunya ke berbagai negeri, ia kembali ke Baghdad dan menjadi ulama besar di sana. Orang-orang ramai mendatangi majelisnya, mengambil manfaat dari ilmu dan adabnya. Atau hanya sekadar melihat wajahnya yang tenang dan berwibawa.

Imam Asy-Syafi’i pernah memuji ketinggian ilmu Ahmad bin Hanbal, “Aku melihat seorang pemuda di Baghdad, apabila dia mengatakan ‘haddatsana’ (artinya: telah menceritakan hadits kepada kami), maka orang-orang mengatakan, ‘Dia benar!’” Dia adalah Ahmad bin Hanbal, kata sang Imam.
Dalam kesempatan yang lain, ketika Imam Asy-Syafi’i meninggalkan Baghdad dan menetap di Mesir, ia tetap memuji muridnya itu. Ia mengatakan, “Aku meninggalkan Baghdad. Dan tidaklah aku meninggalkannya seorang yang lebih takwa dan lebih pandai fiqih dibandingkan Ibnu Hanbal.”

Di masa Khalifah Al-Mu’tashim Al-Abbasi, Imam Ahmad mendapatkan ujian yang berat. Saat itu, pemikiran Mu’tazilah dianut dan didukung oleh Khalifah. Mereka, orang-orang Mu’tazilah, menganggap Alqur’an adalah makhluk. Mereka menguji ummat Islam dengan masalah tersebut. Siapa yang mengatakan Alqur’an bukan makhluk ia akan dihukum bahkan dibunuh.

Imam Ahmad adalah salah satu yang dipanggil di hadapan Khalifah Al-Mu’tashim dan ditanyakan masalah tersebut. Imam Ahmad menjawab bahwa Alqur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Ia hampir saja dihukum mati. Tapi akhirnya Khalifah memutuskan agar ia dihukum cambuk. Sang Imam dicambuk sampai pingsan. Karena peristiwa itulah ia digelari Imam Ahlussunnah wal Jamaah.

Setelah itu, Imam Ahmad dipenjara sampai Khalifah Al-Mu’tashim wafat dan digantikan Al-Watsiq. Al-Watsiq tidak sekeras Al-Mu’tashim. Hanya saja ia melarang Imam Ahmad untuk mengajarkan ilmunya. Ia dilarang keluar dari rumahnya. Imam Ahmad baru bisa mengajar kembali di masa Al-Mutawakkil.


Dasar-dasar Madzhab

Pijakan Imam Ahmad bin Hanbal dalam madzhabnya dan fatwa-fatwanya berlandaskan pada lima dasar. Pertama, Teks dari Alqur’an dan hadits. Kedua, fatwa para sahabat (ijma’ sahabat) jika tidak ditemukan nash dari Alqur’an dan hadits.

Ketiga, jika terdapat banyak pendapat para sahabat dalam satu kasus, maka ia memilih mana yang lebih dekat dengan Alqur’an dan hadits. Dengan kata lain, ia tidak keluar dari salah satu pendapat ini. Terkadang Imam Ahmad tawaqquf dari fatwa jika tidak ditemukan sesuatu yang menguatkan salah satu dari pendapat-pendapat tersebut.

Keempat, mengambil hadits mursal atau dhaif (lemah) lebih utama baginya dibandingkan qiyas selama tidak ada atsar lain yang menolaknya, juka tidak ada pendapat para sahabat yang bertentangan dengannya. Dan kelima, jika ia tidak menemukan sesuatu dari keempat dasar yang disebutkan sebelumnya, maka ia beralih kepada qiyas. Beliau menggunakan qiyas dalam keadaan darurat.

Murid-murid Imam Ahmad

Imam Ahmad memiliki banyak murid. Murid-muridnya itulah yang menyebarkan madzhab fiqih sang guru. Di antara mereka yang terkenal antara lain, Abu Bakar Al-Atsram bin Muhammad bin Hani Al-Khurasani Al-Baghdadi. Ia termasuk seorang fuqaha, ulama, dan penghafal hadits (al-hafizh). Karyanya adalah “Kitab As-Sunan fi Al-Fiqh ‘Ala Madzhab Ahmad wa Syawahiduhu min Al-Hadits”.

Lalu, Ahmad bin Muhammad bin Al-Hujjaj Al-Maruzi, wafat pada tahun 275 H. Ia termasuk salah satu murid Imam Ahmad yang paling mulia, seorang imam dalam fiqih dan haidits serta memiliki banyak karya.

Kemudian, Ibrahim Al-Harbi Abu Isqah, wafat pada tahun 285 H. Ia belajar fiqih kepada Imam Ahmad sehingga menjadi salah satu pemimpin para ulama. Ia banyak menulis kitab khususnya dalam bidang hadits. Dan masih banyak lagi murid beliau yang lainnya.

Ulama-ulama Madzhab Hanbali

- Abu Bakr Al-Khallal, wafat 311 Hijriyah.

- Ibnu Aqil, wafat 488 Hijriyah.


- Abul Faraj bin Al-Jauzi, wafat 597 Hijriyah.

- Abdul Ghani Al-Maqdisi, wafat 600 Hijriyah.

- Ibnu Qudamah, wafat 620 Hijriyah.

- Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, wafat 728 Hijriyah.

- Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, wafat 751 Hijriyah.

- Ibnu Rajab, wafat 795 Hijriyah.

Kamis, 03 Agustus 2017

Imam Asy-Syafi’i dan Madzhabnya

Al-Umm, karya Imam Asy-Syafi'i

Madzhab Fiqih terbesar di Indonesia

Secara umum, madzhab fiqih terbesar di dunia Islam (sunni) ada empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Syafi’I adalah madzhab fiqih yang dianut oleh mayoritas ummat Islam di Indonesia.

Madzhab Syafi’I didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Ia memiliki nasab yang sampai kepada Hasyim bin Abdul Mutthalib bin Manaf bin Qushai bin Kilab. Jadi, ia seorang Quraisy dan masih satu nasab dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Asy-Syafi’i lahir di Ghaza, masuk wilayah Palestina pada hari ini, tahun 150 Hijriyah. Ia lahir di tahun yang sama dengan wafatnya Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi. Imam Syafi’i dikaruniai otak yang cerdas dan hafalan yang kuat oleh Allah. Pada usia tujuh tahun ia telah menghafal seluruh Alqur’an.

Pada usia sepuluh tahun ia telah mampu menghafal kitab Al-Muwattha, kitab hadits yang disusun oleh Imam Malik. Di usianya itu pula ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia juga berguru kepada mufti Makkah, Muslim bin Khalid Az-Zanji. Gurunya itulah yang mengizinkannya berfatwa saat usia Syafi’i masih lima belas tahun.

Setelah Imam Malik meninggal dunia, Imam Syafi’i menuju ke Yaman. Di sana dia diangkat sebagai mufti. Di Yaman pula ia menikah dengan seorang perempuan bernama Hamidah bnti Nafi’, masih keturunan Utsman bin Affan sahabat Rasulullah.

Ketika tugasnya selesai, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya dalam menuntut ilmu. Pada tahun 195 H, ia menuju Baghdad (Irak) dan menetap di sana selama dua tahun. Di Baghdad dia belajar dari tokoh-tokoh madzhab Hanafi, di antaranya adalah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani murid dari Imam Abu Hanifah. Ia juga sempat bertemu dan berbagi ilmu dengan Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali.

Di Irak inilah Imam Syafi’i menulis kitabnya yang terkenal diberinya judul “Ar-Risalah”. Ar-Risalah adalah kitab ushul fiqih pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum fiqih dari kitab suci Alqur’an dan hadits Rasulullah.

Fatwa-fatwa dan tulisan Imam Syafi’i selama menetap di Irak ini dinamakan dengan “Al-Qaul Al-Qadim” atau fatwa lama. Pada tahun 198 Hijriyah, sang imam pindah ke Mesir. Di negeri piramida inilah ia mengeluarkan fatwa-fatwa baru yang dikenal dengan “Al-Qaul Al-Jadid”. Imam Syafi’i menetap di Mesir hingga ajal menjemputnya tahun 204 Hijriyah di usia 54 tahun.

Sumber Hukum Madzhab

Sumber hukum syariat dalam madzhab Syafi’i ada empat, yaitu Alqur’an, Hadits-hadits Nabi, Ijma’ (kesepakatan para imam mujtahid dalam satu masa), dan qiyas. Imam Syafi’i pertama-tama merujuk kepada Alqur’an. Setelah Alqur’an, beliau merujuk kepada hadits-hadits Nabi termasuk khabar wahid, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi (periwayat) saja.

Hanya saja, ia mensyaratkan perawinya harus tsiqah agamanya, dikenal jujur dalam perkataannya, seorang hafizh, mengerti apa yang disampaikan, bebas dari tadlis (kecurigaan) dalam periwayatannya, dan sanadnya harus sampai kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah dua sumber pokok itu, beliau merujuk kepada ijma’, kemudian qiyas dengan syarat memiliki dasar dari Alqur’an dan Sunnah.

Qiyas yaitu perbandingan menyerupakan hukum masalah yang baru dengna hukum masalah yang serupa dengan yang telah terjadi lebih dahulu. Contohnya, di dalam hadits-hadits diterangkan bahwa gandum kalau sampai satu nisab, wajib dizakatkan. Tapi padi tidak disebutkan dalam hadits. Imam Syafi’i lalu membandingkan menyerupakan padi dengan gandum, sama-sama wajib dizakatkan kalau sampai satu nisab, karena keduanya sama-sama tumbuhan yang menjadi makanan pokok.

Para Penyebar Madzhab

Imam Syafi’i sendiri yang mengkodifikasi madzhabnya dan menyebarkannya di negeri-negeri yang dikunjunginya. Tetapi, para murid-murid beliau juga berkontribusi dalam menyebarkan madzhab ini. Para murid dan pengikutnya tidak terhitung jumlahnya, baik yang berada di Hijaz, Irak, Mesir, dan lainnya.

Di antara murid beliau yang terkenal adalah Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi. Al-Buwaithi adalah murid Imam Syafi’I di Mesir yang paling senior. Imam Syafi’i pernah berwasiat jika ia meninggal maka yang menggantikannya sebagai pengajar adalah Al-Buwaithi.

Muridnya yang lain adalah Ismail bin Yahya Al-Muzani. Ia juga ulama kelahiran Mesir. Imam Syafi’i pernah berkata tentang Al-Muzani, “Al-Muzani adalah pembela madzhabku.” Setelah Al-Buwaithi, Al-Muzanilah yang menggantikannya sebagai pengajar madzhab ini. Masih banyak murid-muridnya yang lain, seperti Al-Muradi, Az-Za’farani, Ishaq bin Rahuyah, dan Al-Humaidi.

Ulama-ulama Madzhab Syafi’i

1. Abu Hatim Ar-Razi wafat 277 Hijriyah.

2. Imam Ad-Daruquthi wafat 385 Hijriyah.

3. Abu Ishaq Al-Fairuzabadi As-Syirazi wafat 476 Hijriyah.

4. Abu Hamid Al-Ghazali wafat 505 Hijriyah.

5. Abu Zakariya An-Nawawi wafat 676 Hijriyah.

6. Taqiyuddin As-Subki wafat 756 Hijriyah.

7. Ibnu Hajar Al-Atsqalani wafat 852 Hijriyah.

8. Jalaluddin As-Suyuthi wafat 911 Hijriyah.