01.24 -
No comments
Sejarah Sebagai Ilmu dan Sejarah Sebagai Seni
Sejarah sebagai ilmu adalah suatu
susunan pengetahuan tentang peristiwa dan cerita yang terjadi di dalam
masyarakat pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan menggunakan
metode yang didasarkan atas asas-asas, prosedur dan metode serta teknik ilmiah
yang diakui oleh para pakar sejarah.[1]
2. Pengertian Sejarah
Sebagai Seni
Jarak antara masa kini dan masa
lampau selalu menjadi persoalan utama seorang sejarawan. Walaupun berbagai
tahapan dalam metode sejarah mampu menjamin kebenaran sumber tersebut, tetapi
dalam menafsirkan sumber tersebut sejarawan lebih condong menjadi subjektif
daripada objektif. Untuk menjembatani masa kini dan masa lampau, seorang
sejarawan harus memiliki jiwa seni, bukan saja berkaitan dengan pencarian
sumber alternatif, penciptaan imajinasi yang membantu penafsiran sumber, dan
yang ketiga penyajian karya sejarah agar menarik dibaca.[2]
Oleh karena itu, karya-karya sastra
tidak boleh diabaikan dalam mengungkapkan realitas masa lampau yang penting
dalam membantu menjelaskan kejadian-kejadian di masa lampau secara utuh. Hal
yang cukup penting juga berkaitan dengan nilai estetika karya sastra yang dapat
membantu penyajian karya sejarah. Umum diketahui, banyak histriografi yang
diciptakan sejarawan-sejarawan profesional hanya menjadi konsumsi sejarawan
profesional lainnya, tanpa menarik perhatian masyarakat umum. Permusuhan antara
Sejarawan dan karya-karya sastra membuat sejarawan hanya menyajikan data dan
fakta secara kronologis, tanpa dapat merangkaikannya, mengimajinasikannya, dan
membawa pembacanya larut ke masa lalu. Maka tidak heran, tulisan sejarah karya
para amatir, seperti wartawan, pelaku sejarah, dan lain sebagainya lebih banyak
dibaca dibanding karya sejarawan profesional.
Sejarah merupakan suatu disiplin
ilmu yang memadukan kaidah ilmu pengetahuan dan nilai estetis Seni. Tentunya,
historiografi yang baik adalah karya yang mampu mengombinasikan sumber yang
menyajikan kebenaran fakta sejarah dengan imajinasi
3. Ciri-Ciri Sejarah Sebagai Ilmu
dan Sejarah Sebagai Seni
A. Ciri-Ciri
Sejarah Sebagai Ilmu
Adapun ciri-ciri sejarah sebagai
ilmu menurut Kuntowijoyo[3],
adalah sebagai berikut:
1. Bersifat
Empirik.
Sejarah termasuk juga pada ilmu-ilmu
empirik. Artinya sejarahpun mendasarkan diri pada pengamatan serta
pengalaman manusia. Memang harus diakui bahwa pengamatan sejarah tidak mungkin
dilakukan secara langsung terhadap
objeknya seperti halnya pada ilmu-ilmu alam. Objek ilmu sejarah adalah masa
lampau. Masa lampau itu sendiri sudah tidak lagi dapat diamati dan dialami
lagi, karena memang sudah lampau dan hilang ditelan waktu. Yang masih dapat
diamati dalam sejarah adalah peninggalan-peninggalan yang masih tersisa,
bukti-bukti serta kesaksian dari para pelaku sejarah.
2. Objek
sejarah adalah masa lampau
Berbeda
dengan ilmu-ilmu sosial yang berupaya memahami perilaku manusia di waktu
sekarang, maka ilmu sejarah lebih berusaha untuk memahami perilaku manusia di
waktu lampau. Waktu yang dikaji dalam sejarah adalah waktu subjektif, ialah
waktu yang dialami dan dirasakan oleh manusia. Makna waktu bagi manusia
tergantung relasinya terhadap dirinya.
3. Sejarah
memiliki metode tersendiri,
Ialah
metode sejarah. Metode yang digunakan dalam sejarah adalah metode sejarah.
Dengan metode sejarah itulah akan dikaji keaslian sumber data sejarah,
kebenaran informasi sejarah, serta bagaimana dilakukan interpretasi dan
inferensi terhadap sumber data sejarah tersebut.
4.Sejarah
memiliki teori-teori dan konsep-konsep sendiri.
Sejarah memiliki teori ilmu
pengetahuan ( epistemology ) sendiri yang memberikan dasar-dasar bagi
kaidah-kaidah ilmu sejarah. Sejarah memiliki teori-teori tersendiri mengenai
kebenaran, objektivitas, subjektivitas, generalisasi dan hukum sejarah. Sejarah
sebagai ilmu telah memiliki tradisi yang tua lagi panjang.Tiap kurun zaman
berkembang pula filsafat sejarah tersendiri.
B.Ciri-Ciri
Sejarah Sebagai Seni
Adapun ciri-ciri Sejarah Sebagai
Seni adalah sebagai berikut[4]
:
1. Sejarah
memerlukan intuisi.
Kerja sorang sejarawan tidak cukup
hanya mengandalkan metode dan rasionalitas yang dimilikinya, melainkan pula
memerlukan intuisi yang berlangsung secara naluriah atau instinktif. Ini
terjadi bukan saja dalam tahap interpretasi ataupun historiografi, melainkan
berlangsung pada seluruh proses kerja sejarawan. Proses heuristik juga
memerlukan ars in veniendi (seni mencari).
2.Sejarah
memerlukan imajinasi.
Setiap ahli metodologi mengakui
bahwa imajinasi harus memainkan satu bagian dalam beberapa tahap karya ahli
sejarah. Imajinasi merupakan sumber pengetahuan sejarah.[5]
Imaginasi membantu untuk mampu membayangkan bagaimana proses sejarah itu
terjadi. Sekalipun sejarah tak dapat dilepas dari imaginasi, namun sejarah
tetap sejarah dan bukannya fiksi. Kebenaran objektivitas dan faktual sejarah
tetap menjadi landasan kerja bagi seorang sejarawan.
3. Sejarah
memerlukan emosi.
Sejarah yang dibahas adalah
sejarahnya manusia. Bercerita tentang sejarah harus mampu menghadirkan objek
ceritanya kepada pembaca atau pendengarnya seolah-olah mereka berhadapan
sendiri dengan tokoh yang diceritakan. Sejarawan memerlukan emphati (perasaan)
dengan segala afeksi-nya.
4. Sejarah
memerlukan gaya bahasa.
Penulisan gaya bahasa memiliki
peranan yang penting dalam mengkomunikasikan kisah atau cerita sejarah. Hasil
penulisan sejarah tersebut menarik atau tidaknya cerita sejarah banyak
bergantung pada gaya penyampaiannya. Sejarawan harus mampu mendeskripsikan
peristiwa sejarah sebagai layaknya seorang pelukis melukiskan secara naturalis.
4. Perbedaan Sejarah Sebagai Ilmu
Dengan Sejarah Sebagai Seni
Pada umumnya sejarah memiliki
ciri-ciri yang yaitu bersifat rasional, empiris, dan sementara. Rasional artinya
kebenaran itu ukurannya akal. Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk
akal. Sebagai contoh, kita mengenal adanya candi Borobudur yang megah. Secara
akal dapat dijelaskan bahwa pembangunannya dilakukan oleh manusia biasa dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan.
Bersifat empiris maksudnya
bahwa sejarah melakukan kajian atas peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa
silam peristiwa itu akan didokumentasikan dan menjadi bahan penelitian para
sejarawan untuk menemukan fakta. Fakta-fakta ini kemudian
diinterpretasikan sehingga timbul tulisan sejarah. Sedangkan bersifat sementara maksudnya
adalah bahwa dalam ilmu pengetahuan, kebenaran yang dihasilkan sifatnya tidak
mutlak. Tidak seperti halnya kebenaran dalam agama yang bersifat mutlak.
Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat sementara, artinya dapat dibantah apabila
ditemukan teori-teori baru.[6]
Sedangkan sejarah, Sebuah karya
sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta konvensional,
seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang kebanyakan
hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetap, harus
pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra,
seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra
tidak memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi
tugas seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Dalam pengalaman saya, usaha
mempergunakan berbagai karya sastra lebih banyak membantu, daripada merugikan,
terutama mendapatkan data sosial yang sangat berharga dan tidak dapat
didapatkan dari keterangan-keterangan sumber konvensional.[7]
Selain itu, penggunaan karya sastra
juga sangat membatu seorang sejarawan, terutama dalam tahapan interpretasi, untuk
berimajinasi yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dan
masa lampau.
[1] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Cet.I,
Jakarta: Logos, 1999), h. 2
[2] Ibid.
[3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (cet.5,
Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), h. 21
[4] Kuntowijoyo, h. 69.
[5] G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (Cet.I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 200.
[6] Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu (Cet.I,
Jakarta: Bharata, 1991), h. 56.
0 komentar:
Posting Komentar