22.42 -
Sejarah Islam
No comments
Dakwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di Mekah dan Tantangannya
Dalam menjalankan
dakwahnya di Mekah, ada dua fase yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, yaitu
dakwah secara sembunyi-sembunyi dan dakwah secara terang-terangan.
Dakwah secara sembunyi-sembunyi
Nabi
Muhammad saw. memulai dakwahnya setelah menerima perintah Allah swt.
“Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan
pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa tinggalkanlah dan janganlah kamu
member (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Mudatsir: 1-7)
Pada
mulanya Nabi saw. berdakwah kepada orang-orang terdekatnya, kemudian kepada
sahabat-sahabat karibnya. Dia menyeru kepada agama Islam. Beberapa anggota
keluarga dan sahabatnya memenuhi seruan Nabi. Mereka antara lain Khadijah, Zaid
bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar al-Shidiq.[1]
Kemudian
Abu Bakar juga mengajak beberapa orang masuk Islam di antaranya adalah Utsman
bin Affan, Zubair bin Awwam, Abd al-Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan
Thalhah bin Ubaidillah. Lalu disusul Bilal bin Rabah, Abu Ubaidah bin
al-jarrah, Arqam bin Abi al-Arqam, Utsman bin Mazh’un, Sa’id bin Zaid dan
istrinya, Fathimah binti al-Khattab, Khabbab, Abd Allah bin Mas’ud, dan
lain-lain. Ibnu Hisyam mengatakan jumlah mereka lebih dari 40 orang.[2]
Mereka inilah yang disebut al-Sabiqun al-Awwalun atau yang terdahulu dan
pertama-tama masuk Islam. Saat itu dakwah atau kegiatan keislaman dilakukan di
rumah Arqam bin Abi al-Arqam.
Dakwah secara Terang-terangan dan tantangan
yang dialami Nabi Muhammad
Ketika
turun ayat surah al-Syu’ara 214 yang berbunyi:
“Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.”
Langkah
pertama yang dilakukan oleh Nabi saw. setelah turun ayat ini adalah mengundang
Bani Hasyim. Nabi dilindungi oleh Abu Thalib. Suatu hari Nabi berdiri di atas
bukit Shafa lalu berseru, “Wahai semua orang, apa pendapat kalian jika aku
kabarkan bahwa di belakang ini ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah
kalian percaya padaku?” Mereka menjawab, “Benar, kami tidak pernah melihat
engkau kecuali kejujuran.” Kemudian Nabi berkata, “Sesungguhnya aku memberi
peringatan kepada kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” Abu Lahab berkata,
“Cekalah engkau selama-lamanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami!? Kemudian
turunlah ayat, “Celakalah kedua tangan Abu Lahab.”[3]
Kemudian
Allah menurunkan ayat-Nya:
“Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Rasulullah
langsung bangkit dan menyerang berbagai khurafat dan kesyirikan. Nabi terlebih
dahulu menyeru penduduk Mekah, lalu penduduk negeri-negeri lain. Ia juga
menyeru orang-orang yang datang berhaji ke Mekah dari berbagai negeri untuk
memeluk Islam.[4]
Dakwah
Nabi tidak berjalan mulus, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Waraqah bin
Naufal, sepupu Khadijah yang beragama Nasrani bahwa suatu saat Muhammad akan
dibenci oleh kaumnya, dinamakannya pembohong, dikucilkan, bahkan diperangi.[5]
Para
pemuka Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Sufyan, Abu Jahal, dan bangsawan Quraisy
terkemuka lainnya mulai merasakan bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya
besar bagi kedudukan mereka. Yang mula-mula mereka lakukan adalah menyerangnya
dengan cara mendiskreditkan, dan mendustakan kenabiannya.
Kaum
Quraisy mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika untuk membujuk Nabi.
Mereka menawarkan harta, tahta, dan wanita agar Nabi bersedia menghentikan
dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak. Nabi berkata kepada pamannya, Abu Thalib,
“Paman, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku
binasa karenanya.”[6]
Banyak
di kalangan orang-orang lemah dan budak yang mengikuti dakwah Nabi mendapat
tantangan dan penganiayaan dari tuan-tuan mereka, diantaranya adalah keluarga
Yasir. Istri Yasir, Sumayyah harus menemui ajal setelah dibunuh oleh majikannya
karena tidak mau melepaskan keislamannya. Begitu juga siksaan yang dialami oleh
bilal. Ia diseret di atas padang pasir di bawah terik matahari dan dadanya
ditindih dengan batu besar.
Kaum
Muslimin yang lain juga tak lepas dari penganiayaan. Tidak terkecuali Nabi
Muhammad, ia mengalami gangguan-gangguan meskipun sudah dilindungi oleh Bani
Hasyim dan Bani al-Muttalib. Ummu Jamil, isteri Abu Jahal, melemparkan najis ke
depan rumahnya. Dan pada waktu beribadah, Abu Jahal melemparinya dengan isi
perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Umat
Islam harus menerima kata-kata keji kemana saja mereka pergi. Cukup lama hal
serupa berjalan tetapi mereka tetap teguh dengan keimanan mereka.
Orang-orang
kafir Quraisy juga melakukan pemboikotan, memutuskan segala bentuk hubungan
dengan orang-orang yang menerima dakwah Nabi saw. tidak seorang pun penduduk
Mekah diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim.
Persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditandatangani sepihak dan disimpan
di dinding Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan
kesengsaraan. Tindakan pemboikotan ini dimulai pada tahun ketujuh kenabian dan
berlangsung selama tiga tahun.[7]
Penderitaan
makin menjadi-jadi ketika Abu Thalib dan Khadijah yang selalu melindungi dan
membantu Nabi Muhammad meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada tahun
kesepuluh kenabian. Tahun ini dinamakan Am al-Huzn atau tahun kesedihan.[8]
Nabi
akhirnya memutuskan untuk berdakwah dan meminta perlindungan di luar Mekah. Ia
ke Thaif. Namun, di Thaif dakwahnya ditolak. Ia dicaci dan dilempari batu
sampai terluka. Nabi Muhammad juga berusaha mencari dukungan kalangan badui,
namun sekali lagi usahanya tidak membawa hasil. Pada masa ini tidak ada seorangpun
yang menjadi pelindungnya.[9]
Akhirnya Nabi kembali ke Mekah. Ia bisa diterima kembali masuk Mekah karena
diberi perlindungan oleh Muth’im bin Adi.[10]
Menurut
Ahmad Syalabi, 5 faktor yang mendorong orang Quraisy menentang dakwah Islam[11]:
1. Mereka
tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abd
al-Muttalib.
2. Nabi
Muhammad saw. menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal
ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3. Para
pemimpin Quraisy tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4. Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan berakar pada bangsa Arab.
5. Pemahat
dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Meskipun demikian, Nabi tidak berhenti berdakwah dan
menyerukan Islam. Di antara yang didakwahi oleh Rasulullah adalah penduduk
Yatsrib, suku Aus dan Khazraj. Mereka datang ke Mekah untuk memeluk agama Islam
dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan permusuhan antara
kedua suku. Pada tahun keduabelas kenabian mereka datang kembali menemui Nabi
dan mengadakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Aqabah pertama, yang
berisi ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yasrib sebagai juru
dakwah disertai sahabat Rasulullah, Mush’ab bin Umair yang diutus oleh Nabi
untuk berdakwah di sana. Gelombang ketiga, pada tahun ketiga belas kenabian,
mereka datang kembali kepada Nabi untuk hijrah ke Yasrib. Mereka membai’at Nabi
sebagai pemimpin. Nabi pun akhirnya menyetujui usulan mereka untuk berhijrah.
Perjanjian ini disebut perjanjian Aqabah Kedua.[12]
[1] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri,
Sirah Nabawiyah (Cet.6, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1997), h.103-104
[3] Ibid., h.109.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet.16,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.20
[5] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah kurun Makkah (Cet.I,
Jakarta: Tama Publisher, 2005), h.171.
[6] Thahia al-Ismail, Tarikh Muhammad saw. Teladan Perilaku Umat (Cet.I,
Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1997), h.80.
[8] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (cet.I,
Jakarta: Logos, 1997), h.20.
[9] Ira M.Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (Cet.1,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1999), h.37.
[10] Lihat: Shafiy al-Rahman
al-Mubarakfuri, op.cit., h.174
[11] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Cet.1,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), h.87.
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Cet.2, Jakarta:
Amzah, 2010), h.68.
0 komentar:
Posting Komentar