Rabu, 10 April 2019

Kisah Imam Al Bazzar: Buah dari Takwa



Al-Qadhi Abu Bakar bin Abdil Baqi bin Muhammad Al-Bazzar Al-Anshari, seorang ulama abad ke-6 Hijriyah berkisah:

“Aku menetap di kota Makkah, suatu hari saya sangat lapar, aku tidak mendapatkan apa-apa untuk menghilangkan rasa lapar. Kemudian aku menemukan kantong terbuat dari sutera yang terikat dengan pita yang juga terbuat dari sutera.

Aku mengambilnya dan membawanya ke rumah kemudian membuka ikatannya. Aku dapati di dalamnya ada rantaian mutiara. Aku tidak pernah melihat barang seperti ini sebelumnya.

Lalu aku keluar, aku bertemu dengan seorangtua renta yang mencari kantong mutiara itu. Sambil memegang kantong berisi lima ratus dinar, orang tua itu berseru, “Ini untuk orang yang mengembalikan kantong kepada kami, kantong itu berisi mutiara.”

Aku (Al-Bazzar) berkata dalam hati, “Aku membutuhkannya, aku lapar. Jika aku mengambil emas (dinar) itu, aku bisa menggunakannya. Aku akan mengembalikan kantong itu.”

Aku pun mengajaknya ke rumah. Ia sebutkan tanda-tanda kantong dan pita yang ada pada kantong itu, tentang mutiara dan jumlahnya, juga tentang benang yang mengikatnya. Kemudian aku mengeluarkannya dan menyerahkannya kepada orang tua itu. Setelah itu, ia menyerahkan lima ratus dinar kepadaaku.

Aku katakan, “Aku mesti mengembalikannya kepadamu. Aku tidak ingin mengambilnya sebagai balasan.” Ia berkata kepadaku, “Engkau harus mengambilnya,” ia terus mendesak. Tapi, aku tidak mau menerimanya. Ia pun pergi meninggalkanku.

Kemudian, suatu hari, aku keluar dari kota Makkah menggunakan perahu. Di tengah perjalanan, perahu itu terbelah dan banyak orang tenggelam. Harta benda mereka hilang. Sementara aku selamat dengan kepingan perahu. Aku terombang-ambing beberapa hari di lautan, aku tidak tahu kemana aku akan pergi.

Tiba-tiba, aku sudah terdampar di sebuah pulau. Di pulau itu, aku mencari masjid dan duduk di dalamnya. Orang-orang di sana mendengar aku membaca Alqur’an. Setelah mereka mengetahui bahwa saya pandai membaca Alqur’an, maka semua penduduk pulau itu datang kepadaku dan berkata, “Ajarkanlah Alqur’an kepadaku.” Aku mendapatkan banyak uang dari mereka (karena mengajar mereka).

Setelah itu mereka berkata, “Ada seorang anak perempuan yatim, ia mempunyai harta, kami ingin agar engkau menikahinya.” Aku tidak mau tapi mereka terus memaksaku sehingga aku memenuhi permintaan mereka.
Ketika mereka menikahkanku dengan perempuan itu, mata tertuju padanya. Aku dapati kalung mutiara tergantung di lehernya. Aku terus memperhatikannya. Mereka berkata, “Wahai Tuan, engkau menyakiti hati wanita ini dengan pandanganmu seperti itu ke arah kalungnya. Mengapa engkau tidak memperhatikannya.”

Lalu aku mengisahkan tentang aku dan kalung itu kepada mereka. Setelah mendengar ceritaku, mereka bertakbir hingga ke seluruh penduduk pulau itu. Aku bertanya kepada mereka, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Orangtua pemilik kalung mutiara ini adalah ayah dari wanita ini. Ia pernah berkata, ‘Aku tidak pernah bertemu dengan seorang Muslim di dunia ini yang lebih bertakwa daripada orang yang mengembalikan kalung ini kepadaku.’ Sepulang haji ia terus berdoa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengannya hingga aku menikahkan putriku ini.’”


Kamis, 04 April 2019

Sang Penakluk Sisilia

Pulau Sisilia


Pulau Sisilia merupakan pulau yang strategis dan terluas di Laut Tengah. Orang-orang Romawi menguasai pulau ini selama beberapa waktu hingga kaum muslimin datang ke sana.

Pulau Sisilia telah dibuka sejak masa Bani Umayyah. Para panglima muslim seperti Muawiyah bin Hudaij, Uqbah bin Nafi’, Atha’ bin Rafi, hingga Abdurrahman bin Habib telah berusaha membuka pulau ini. Namun, kesuksesan sebenarnya baru terjadi pada masa Dinasti Aghlabiyah (Aghalibah), melalui panglimanya yang terkenal, Asad bin Furat.

Asad bin Furat adalah panglima besar kelahiran Harran, Syam pada 142 Hijriyah (759 M). ayahnya adalah pejuang yang ikut membebaskan wilayah Maghrib. Ketika ayahnya pindah ke Qairuwan, Asad ikut serta ke sana. sejak kecil Asad bin Furat telah menghafalkan Alqur’an seluruhnya. Setelah menyelesaikan hafalannya, ia mempelajari ilmu-ilmu syariah hingga ia ahli dalam bidang fiqih. Ia mempelajari kitab al-Muwattha’ langsung dari penulisnya, Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar di Madinah.

Setelah belajar dari Imam Malik, ia melanjutkan pengembaraannya menuntut ilmu ke Irak. Di sana, ia belajar kepada murid-murid terkemuka Imam Abu Hanifah seperti Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Abu Yusuf Al-Qadhi. Dari mereka, ia belajar madzhab Hanafi. Dari Irak, ia kembali menjelajahi negeri Islam untuk belajar, hingga sampailah ia di Mesir.

Di Mesir banyak terdapat murid-murid Imam Malik, seperti Ibnu Wahab dan Ibnu Qasim. Dari kedua inilah Asad mempelajari madzhab Maliki lebih mendalam. setelah merampungkan pelajarannya kepada dua murid Imam Malik itu, Asad kembali ke Qairuwan pada tahun 181 Hijriyah. Dia telah mendatangi kota-kota, berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk belajar dari para ulama terkemuka. Dan ketika dia kembali ke Qairuwan, ia telah menjadi ulama kaum muslimin yang mencapai tingkat ijtihad.

Asad bin Furat mengisi pengajian di Masji Uqbah, Qairuwan. Banyak para penuntut ilmu yang mendatangi majelisnya dan mendengar ilmu yang dibawakannya, terutama tentang madzhab Maliki dan Hanafi yang telah dipelajarinya.

Dalam diri Asad bin Furat telah tertanam rasa cinta terhadap jihad fi sabilillah. Ia telah mengambil keteladanan pada diri ayahnya yang merupakan seorang pejuang pembebas wilayah Maghrib. Maka ketika Ibnu Aghlab, gubernur Qairuwan berencana mengirim pasukan menggunakan kapal laut untuk menyerang Pulau Sisilia, ia mengangkat Asad bin Furat sebagai panglimanya. Asad pun menerima tawaran itu, sekalipun ia telah menjadi ulama di Qairuwan, ia tidak melupakan jihadnya.

Berjihad ke Sisilia

Bersama 10.000 pasukan, Asad bin Furat keluar dari Qairuwan menuju Laut Tengah, tepatnya di Pulau Sisilia. Armada Islam ini berangkat pada Rabiul Awwal 212 Hijriyah (827 M). pulau itu dikuasai oleh bangsa Romawi Byzantium, mereka telah menanti Asad bin Furat dengan mengerahkan 100.000 pasukan. Jumlah yang sangat jauh melampaui jumlah pasukan Islam.

Asad bin Furat berdiri di hadapan pasukannya menyampaikan khutbah dan memberikan semangat kepada mereka. ia memotivasi serta mengingatkan pasukannya bahwa surga sebagai balasan mereka karena menolong agama Allah. kemudian panglima gagah berani ini membacakan beberapa ayat Alqur’an. Setelah itu mereka maju berperang melawan tentara Sisilia yang sangat banyak jumlahnya.

Perang dahsyat meletus, terdengar suara gemerincing pedang-pedang yang beradu dan suara ringkikan kuda. Sementara itu, kaum muslimin terus memekikkan takbir. Atas pertolongan Allah, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran. Pasukan musuh serta pemimpinnya lari dari peperangan. Jumlah pasukan bukanlah satu-satunya syarat penentu kemenangan, melainkan ketakwaan. Dan inilah yang ditanamkan Asad bin Furat kepada pasukannya.

Setelah memenangkan pertempuran di Sisilia, Asad bin Furat melanjutkan perjalanannya menuju Palermo, satu kota di Italia. Mereka mengepung kota itu dengan ketat. Saat kota ini hampir berhasil dibuka, tiba-tiba kaum muslimin terserang wahab penyakit. Banyak kaum muslimin yang terjangkit penyakit ini, termasuk panglima mereka Asad bin Furat, yang saat itu telah berusia 70 tahun. Pada tahun 213 Hijriyah, ulama ini pun meninggal dan dimakamkan di sana, dalam keadaan berjihad fi sabilillah. Semoga Allah memberikan tempat tertinggi di sisi-Nya.