Rabu, 28 Maret 2018

Istana Para Sultan di Tepi Selat Boshporus



Dinasti Utsmaniyyah yang berkuasa di Turki selama ratusan tahun meninggalkan banyak peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya. Istana Dolmabahce salah satu di antaranya.

Dolmabahce Palace atau dalam bahasa Turki Dolmabahce Sarayi terletak di distrik Besiktas, tepi bagian Eropa Selat Bosphorus, Istanbul-Turki. Istana yang memiliki luas sekitar 45.000 meter persegi ini merupakan hasil rancangan tiga arsitek asal Armenia, yaitu Garabet Balyan, Nigogayos Balyan, dan Evanis Kalfa. Pembangunan istana ini atas perintah Sultan Abdul Majid I, penguasa ke-31 Dinasti Utsmaniyah.

Istana Dolmabahce dulunya menjadi tempat kediaman resmi enam penguasa Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1856 sampai 1923 M. Sebelum Dolmabahce, para penguasa Dinasti Utsmaniyah tinggal di Istana Topkapi.

Pembangunan istana yang memadukan antara model arsitektur Eropa dan model arsitektur Turki Utsmaniyah ini menghabiskan biaya yang sangat besar, yakni senilai 35 ton emas atau setara dengan lima juta pound emas. Sebelum membangun istana di lokasi ini, telah ada sebuah tempat peristrahatan Sultan Salim I.

Istana Dolmabahce terdiri atas tiga bagian utama. Pertama, ruang khusus yang diperuntukkan bagi kaum pria yang dalam bahasa Turki disebut “Mabeyn-I Humayun” atau “Selamlik”. Kedua, ruang khusus untuk menyambut negarawan dalam upacara kenegaraan yang penting, yang dalam bahasa Turki disebut “Muayede Salonu”. Di dalam ruang Ceremonial Hall, terdapat lampu kristal hadiah dari Ratu Victoria. Lampu kristal itu  terdiri dri 750 lampu dengan berat 4,5 ton.  Dan ruang yang ketiga, ruang harem yang dikhususkan untuk keluarga kesultanan yang dalam bahasa Turki disebut “Harem-i Humayun”.

Di dalam istana ini terdapat 285 kamar dan juga tangga yang disebut dengan crystal staircase. Tangga berbentuk dua tapal kuda yang dihampari karpet dari kulit beruang ini merupakan hadiah penguasa Rusia yang dibuat dari kristal, tembaga, dan kayu mahoni. Mungkin, karena mengikuti model istana Versailles di Paris, di istana yang memiliki 46 aula, 68 kamar kecil dan 6 pemandian ini ditiadakan dekorasi kaligrafi ayat-ayat Alqur’an seperti halnya di Istana Topkapi.

Keluar dari istana di halaman bagian belakang Nampak pemandangan laut selat Bosphorus tepat di depan mata. Pemandangan lepas ke laut dan taman pada sisi samping bangunan istana ini menambah menarik suasana lingkungan istana. Berbeda dengan istana Versailles di Paris meskipun memiliki taman luas dan indah tapi tidak ada pemandangan lautnya.


Dijadikan Museum

Istana Dolmabahce pertama kali didiami oleh Sultan Abdul Majid I, sultan ke-31 Dinasti Utsmaniyah yang berkuasa pada tahun 1839 sampai 1861 M. Setelah Dinasti Utsmaniyah runtuh, Istana Dolmabahce  menjadi milik Republik Turki. Mustafa Kemal Ataturk, penguasa Turki setelah berakhirnya Dinasti Utsmaniyah sekaligus presiden Republik Turki Sekuler pertama, menjadikan istana ini sebagai tempat kediamannya.


Ketika menderita penyakit mematikan, Mustafa Kemal dirawat di istana ini. Ruangannya dikenal dengan nama Ataturk’s Room. Mustafa Kemal meninggal di istana ini pada tanggal 10 November 1938 pada pukul 09.05. Di istana ini semua jam diberhentikan pada jam 09.05 untuk mengenang meninggalnya Bapak Sekuler Turki itu.

Sejak tahun 1984 sampai dengan hari ini, Istana Dolmabahce menjadi museum dan masih sering digunakan untuk berbagai acara kenegaraan, seperti konferensi dan sebagainya. Tidak sedikit wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi istana bersejarah di Turki ini. Keindahannya yang menyerupai Istana Versailles di Paris menjadi daya tarik tersendiri.

Penyebaran Angka Arab dari Dunia Islam ke Eropa




Ilmuwan Islam turut memberikan sumbangan besar dalam perkembangan matematika. Bermula pada abad ke-8 M ketika ummat Islam mencapai puncak kejayaannya di Baghdad.

Para ilmuwan Islam memburu ilmu matematika yang berasal dari Yunani dan India kuno. Al-Kindi, ilmuwan Muslim abad ke-9, dalam bukunya berjudul “Kitab fi Isti’mal Al-Adad Al-Hindi (On The Use of The Indin Numerals) merupakan referensi awal yang berperan besar dalam memperkenalkan sistem angka dari India ke Timur Tengah dan dunia Barat.

Dari buku itulah orang-orang mengenal angka-angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Angka-angka ini dalam bahasa Inggris disebut dengan Arabic Numerals. Dan ketika angka-angka ini tersebar ke Eropa, bangsa Eropa menggunakannya untuk mengganti angka Romawi yang sangat rumit jika digunakan dalam perhitungan.

Angka Arab ini telah mulai digunakan di Baghdad pada abad ke-8 M ketika seorang terpelajar dari India memperkenalkan sistem angka India pada tahun 771 M. kemudian pada abad ke-10, para ahli matematika dari Timur Tengah juga menambahkan angka-angka pecahan decimal seperti 0.5, ¼, dan 0.75 dengan menggunakan titik atau koma sebagai penanda pecahan. Perhitungan model ini sudah tertulis dalam sebuah risalah karya seorang ahli matematika dari Suriah, Abul Hasan Al-Uqlidisi yang ditulis sekitar tahun 952 M.

Di dunia Barat, sistem angka Arab pertama kali disebutkan dalam manuskrip berjudul Codex Vigilanus yang ditulis di Spanyol (Andalusia) pada tahun 976 M. sejak tahun 980-an, Gilbert de Aurillac (Paus Silvester II) mulai memperkenalkan penggunaan sistem angka ke Eropa, di mana ia kemudian mendapat banyak penolakan karena membawa pengetahuan baru dan aneh dari dunia Islam.

Gilbert memang pernah belajar di Barcelona saat masih muda, dan tidak menutup kemungkinan ia juga pernah menimba ilmu pengetahuan di Andalusia yang merupakan negeri peradaban Islam. Sejak itulah, sistem angka Arab mulai digunakan di Eropa untuk menggantikan sistem angka Romawi yang sangat rumit.

Orang Eropa sendiri masih lazim menggunakan angka-angka Romawi hingga abad ke-15 M dalam perhitungan. Padahal menggunakan angka-angka Romawi dalam perhitungan sangatlah rumit karena memang tidak dirancang untuk penambahan dan pengurangan. Misalnya, menjumlahkan angka 456 dengan 734, jika menggunakan angka romawi ditulis CDLVI + DCCXXXIV. Sangat sulit untuk dijumlahkan.

Angka Nol

Belum diketahui secara pasti siapa yang menemukan angka nol (0). Namun, notasi angka berjajra tanpa menggunakan angka nol diketahui telah digunakan di India sejak abad ke-6 M. waktu itu, angka nol belum ditulis (0) dan hanya digambarkan sebagai spasi kosong di antara dua angka. Penggunaan angka nol sebagai angka di belakang koma atau angka pecahan desimal diketahui pertama kali digunakan pada abad ke-9 oleh para ahli matematika Muslim dari Arab dan Persia. Digit nol waktu itu dilambangkan dalam bentuk titik dan disebut sebagai bindu atau “titik”.


Kata zero (nol) sendiri diambil dari bahasa Italia “zefiro” yang asalnya menyerap kata “safira” (kosong) dari bahasa Arab. Safira berakar dari kata sifr atau nihil yang oleh bangsa Arab digunakan untuk menerjemahkan kata “Sunya” dari bahasa Sansekerta yang bermakna “kosong” atau “hampa”.

Leonardo Fibonacci (1170-1250 M), seorang ahli matematika asal Italia, berjasa besar membawa angka-angka Arab termasuk angka nol dari dunia Islam ke Eropa. Fibonacci menggunakan kata zephyrum untuk mengartikan kata sifr dalam bahasa Arab. Zephyrum inilah yang kemudian menjadi zefiro dalam bahasa Italia dan disingkat zero oleh orang Venezia sebelum akhirnya diserap dalam bahasa Inggris.

Jumat, 16 Maret 2018

Cinta dalam Kopi dan Hujan



Inspirasi biasa hadir saat menikmati secangkir kopi di pagi hari. Seperti halnya kenangan yang hadir saat bulir-bulir hujan turun dari langit. Perpaduan Kopi dan Hujan ciptakan harmoni, hadirkan cinta dan kenangan.

Coffee & Rain adalah coretan-coretan ringkas Mahardy Purnama yang ditulisnya semasa kuliah. Catatan-catatan ringan sarat hikmah itu lalu dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku yang kini berada di tangan pembaca.

Buku ini merupakan buah pikir dan pengalaman penulis selama tujuh tahun lamanya. Sangat pas dibaca sambil menikmati secangkir kopi, apalagi saat hujan menyapa.


Judul Buku: Coffee & Rain Cinta dalam Kopi dan Hujan
Penulis: Mahardy Purnama
Jumlah Halaman: 208
Penerbit: PT Al Qalam Media Lestari