Selasa, 26 Juni 2018

Keutamaan Ahlul Badar


Orang-orang yang ikut serta Perang Badar


Perang Badar merupakan peran besar pertama yang terjadi antara ummat Islam dengan orang-orang kafir. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kedua setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

Hari meletusnya pertempuran Badar dikenal sebagai yaumul furqan atau hari pembeda. Hari itu adalah hari pembeda antara yang haq dan yang batil, pembeda antara Islam dan jahiliyah, antara tauhid dan kesyirikan.  Allah berfirman: “jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Anfal: 41)

Sesaat sebelum perang meletus, Abu Bakar melihat Rasulullah berdoa dengan sangat khusyu’ mengangkat kedua tangannya sampai-sampai selendang Rasulullah terjatuh dari pundak beliau. Rasulullah berdoa:
“Ya Allah, jika pasukan ini kalah, maka Engkau sekali-kali tidak akan disembah lagi di bumi mulai hari ini. Ya Allah berilah kemenangan yang Engkau janjikan.” (HR. Muslim dan Ahmad). 

Maksudnya, jika pasukan kaum Muslimin kalah oleh kaum Musyrikin, sehingga Nabi dan para sahabat gugur, maka agama ini akan terputus. Olehnya tidak ada cara lain, kecuali memenangkan pertempuran agar agama ini tetap eksis.

Begitu pentingnya Perang Badar sehingga orang-orang beriman yang ikut terjun di dalamnya mendapatkan tempat tersendiri di sisi Allah dan Rasul-Nya. Ini terbukti ketika Hathib bin Abi Baltha’ah Radhiyallahu Anhu, seorang alumni Perang Badar, pernah melakukan kesalahan besar. Umar bin Khatthab lalu meminta izin kepada Nabi untuk menebas leher Hathib karena menurutnya ia telah munafiq.

Tapi Rasulullah mencegah Umar, beliau berkata, “Tahukah kalian, Allah telah memuliakan orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar. Allah berkata, ‘Lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang ikut dalam Perang Badar yang jumlahnya 313 orang memiliki kemuliaan tersendiri, sehingga mereka sering disebut sebagai Ahlul Badr. Misalnya, dalam perkataan, “Fulan Badriyan” maksudnya, fulan itu telah ikut dalam Perang Badar. Bahkan keluarga mereka ikut disebut, seperti ayah si fulan atau kakek si fulan telah mengikuti Perang Badar.

Artinya, keberkahan perang Badar sangat mendalam sehingga kenangan indahnya sampai dirasakan oleh anak keturunannya. Mereka sangat bangga jika salah satu anggota keluarga mereka tercatat sebagai bagian dari barisan Mujahidin Perang Badar.

Pembeda Tauhid dan Kesyirikan

Perang Badar adalah perang pembeda antara tauhid dan kesyirikan. Pada perang tersebut, para sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum harus menghadapi keluarga mereka sendiri yang masih musyrik. Abu Ubaidah Ibnu Jarrah Radhiyallahu Anhu harus memerangi ayah kandungnya sendiri. Abu Bakar menghadapi putranya sendiri. Begitu juga Mush’ab bin Umair yang berada dalam barisan kaum Muslimin sementara saudaranya di pihak kaum kafir.

Allah berfirman: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya…”(QS. Al-Mujadilah: 22)

Persaudaraan karena iman dan Islam adalah persaudaraan yang sesungguhnya. Persaudaraan yang dilandasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun persaudaraan karena nasab tanpa dilandasi dengan keimanan, maka persaudaraan itu sifatnya semu dan hanya berlaku di dunia. Di akhirat persaudaraan yang seperti itu akan terputus. Allah berfirman: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)

Derajat Para Sahabat Berbeda

Derajat dan kedudukan para sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum Ajma’in berbeda satu sama lain. Orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi tidak sama derajatnya dengan orang yang masuk Islam belakangan. Orang-orang mengikuti Perang Badar lebih tinggi kedudukannya dibanding orang-orang yang baru ikut peperangan setelah Fathu Makkah.

Abu Bakar yang masuk Islam sejak awal tidak sama kedudukannya dengan Khalid bin Walid yang baru masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun Khalid pemimpin pasukan yang membuka Negeri Syam dan Iraq. Kedudukan Bilal berbeda dengan Abu Hurairah yang baru masuk Islam setelah Fathu Makkah.


Allah berfirman, “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.” (QS. Al-Hadid: 10).

Enam Kitab Hadits Terpopuler


Al-Kutub As-Sittah     Kitab-kitab Hadits Rujukan Ummat Islam



Kita sering mendengar istilah Al-Kutub As-Sittah, kitab yang enam. Ia adalah sebutan bagi enam kitab hadits yang disusun oleh enam ulama hadits di masa keemasan Islam.

Keenam kitab hadits tersebut memiliki ciri khas masing-masing dan telah tersebar ke berbagai penjuru negeri Islam. Kitab hadits yang pertama dalam jajaran Al-Kutub As-Sittah adalah Shahih Bukhari yang ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Bukhari. Ia adalah ulama hadits asal kota Bukhara, wafat pada 256 Hijriyah.

Sebenarnya, Shahih Bukhari diberi nama oleh penulisnya dengan nama “Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi.” Jumlah hadits dalam kitab ini, disebutkan Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah dalam Ulum Al-Hadits, adalah 7.275 hadits termasuk hadits-hadits yang berulang. Sedangkan jika tanpa pengulangan, maka jumlahnya 4.000 hadits.

Kitab hadits kedua, adalah Shahih Muslim yang ditulis oleh Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi atau yang lebih dikenal dengan Imam Muslim. Ulama asal kota Naisabur, wafat tahun 261 Hijriyah. Penulisnya memberi nama kitabnya ini “Al-Musnad Ash-Shahih”.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa jumlah hadits dalam Shahih Muslim sekitar 4.000 hadits dengan membuang hadits yang berulang. Dan Al-Hafizh Al-‘Iraqi menyebutkan jumlahnya 12.000 hadits mencakup hadits yang berulang.

Kitab hadits ketiga dalam jajaran Al-Kutub As-Sittah adalah Sunan Abu Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani. Ia adalah ahli haditsnya kota Basrah, wafat pada 275 Hijriyah. Imam Abu Dawud menamakan kitabnya ini dengan “As-Sunan”.

Kitab hadits yang keempat adalah Jami’ At-Tirmidzi yang dikarang oleh Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, ulama yang wafat pada 279 Hijriyah. Tirmidz adalah kota tempat ia tumbuh besar, sebelah utara Iran. Kitabnya ini juga dikenal dengan nama “Al-Jami’ Ash-Shahih,” dan “Sunan At-Tirmidzi.”

Yang kelima adalah Sunan An-Nasa’i, yang disusun oleh Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An-Nasa’i. Ia adalah ulama hadits kelahiran Nasa’, nama sebuah daerah di Khurasan. Imam An-Nasa’i wafat pada tahun 303 Hijriyah. Imam An-Nasa’i menamakan kitabnya dengan nama “As-Sunan Al-Kubra”.

Dan kitab hadits yang keenam dalam jajaran Al-Kutub As-Sittah adalah Sunan Ibnu Majah, yang ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah. Ia adalah seorang ulama dan ahli haditsnya daerah Qazwin, wafat pada tahun 272 Hijriyah.

Perhatian Para Ulama Terhadap Al-Kutub As-Sittah

Para ulama telah mencurahkan perhatian mereka terhadap Al-Kutub As-Sittah, terlebih lagi terhadap Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Tidak pernah mereka mencurahkan perhatian mereka kepada sebuah kitab, setelah Alqur’an, sebagaimana perhatian mereka terhadap Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Para ulama sejak dahulu hingga hari ini telah menulis berbagai syarah, ta’liq, ringkasan, dan lainnya mengenai Al-Kutub As-Sittah.



Di antara kitab-kitab Syarah Shahih Bukhari yang terkenal adalah Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani dan Umdatul Qari karya Al-‘Aini. Sedangkan kitab Syarah Shahih Muslim yang paling penting antara lain Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj karya An-Nawawi dan Syarh Shahih Muslim karya Abu Amr bin Utsman bin Ash-Shalah.

Kitab-kitab Syarah Sunan Abu Dawud antara lain Mirqah Ash-Shu’ud Ila Sunan Abi Dawud, karya As-Suyuthi dan Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Syams Al-Haq Al-‘Azhim Abadi. Kitab-kitab Syarah Jami’ At-Tirmidzi yang terpenting antara lain, Tuhfah Al-Ahwadzi karya Abdurrahman Al-Mubarakfuri dan ‘Aridhah Al-Ahwadzi karya Abu Bakar bin Al-Arabi Al-Maliki. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pujian Para Ulama

Para penulis Al-Kutub As-Sittah adalah orang-orang yang telah diakui keilmuan dan keshalihannya baik oleh para ulama di zamannya, maupun oleh ulama setelahnya. Karya mereka tidak perlu diragukan lagi, menjadi rujukan para kaum Muslimin hingga hari ini.

Abdulah bin Abdurrahman Ad-Darimi, penulis Sunan Ad-Darimi, mengatakan, “Aku melihat para ulama di Al-Haramain, Hijaz, Syam, dan Irak, tapi aku tidak pernah melihat di antara mereka ada yang lebih mumpuni daripada Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari).” Dia juga mengatakan, “Dia adalah orang yang paling berilmu, paling faqih, dan paling banyak menuntut ilmu di antara kami.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata, “Muslim memperoleh dalam kitabnya keberuntungan yang besar, yang belum pernah seorang pun memperoleh seperti itu, sehingga sebagian orang lebih mengutamakannya daripada kitab Shahih Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari).