06.13 -
Sejarah Islam
3 comments
Abdurrahman Al-Nashir, Khalifah Dinasti Umawiyah di Andalusia
Reruntuhan Kota al-Zahra, Peninggalan Dinasti Umayyah di Spanyol |
Biografi Abdurrahman al-Nasir
Abdurrahman
al-Nasir adalah Abdurrahman ibn Muhammad bin Abdullah al-Marwani. Ia
bergelar al-Nasir li dinillah. Kuniyahnya adalah Abu al-Muttharrif. Lahir di
Cordoba pada tahun 890 M/ 227 H. Ibunya bernama Maria yang merupakan seorang
hamba sahaya. Abdurrahman al-Nasir adalah keturunan keenam dari Abdurrahman
ibn Muawiyah al-Umawy, pendiri Daulah Umawiyah di Spanyol.
Sebagaimana yang
dialami oleh kakek buyutnya, Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman ibn Muhammad
juga tumbuh besar dalam keadaan yatim. Ketika berusia 20 hari ayahnya meninggal
secara misterius.[1]
Sumber lain mengatakan bahwa ayahnya dibunuh oleh pamannya bernama Muttarif.[2]
Setelah kematian
ayahnya, Abdurrahman diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya, Abdullah. Kisah
hidupnya ini hampir mirip dengan kisah hidup Nabi Muhammad saw. yang diasuh
oleh kakeknya, Abdul Muttalib setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Abdullah mendidik cucunya penuh perhatian dan kasih sayang. Didikan kakeknya yang
merupakan amir daulah Umawiyah di Spanyol menjadikan Abdurrahman ibn Muhammad
seorang pemuda yang tangguh dan berbakat.
Kakeknya
mendidiknya sehingga ia memiliki ilmu yang luas, memiliki kemampuan
kepemimpinan, kecintaan pada jihad dan kemampuan administrasi. Abdurrahman
juga dididik untuk selalu bertakwa, bersabar, bersikap adil dan selalu membela
orang yang terzalimi. Al-Muqri menyebutkan bahwa Abdurrahman terkenal
karena kelemahlembutannya, kemurahan hatinya dan cintanya pada keadilan.[3] Abdurrahman al-Nasir juga sangat memuliakan para ulama, dan menempatkan mereka di
atas kedudukannya sendiri. Ia mendengarkan fatwa-fatwa para ulama, tunduk
kepada arahan-arahan mereka dan juga berupaya keras untuk menerapkan
nilai-nilai syariah.
Meski sangat
muda, Abdurrahman al-Nasir telah menampakkan keunggulannya dalam ilmu dan
wawasan yang melebihi usianya. Ia adalah pendukung seni, mencintai ilmu
pengtahuan, dan suka berkomunikasi dengan para sarjana dan intelektual.[4] Ia
mempelajari al-Qur’an dan al-Sunnah saat ia masih kanak-kanak. Ia unggul dalam
ilmu Nahwu, syair dan sejarah. Secara khusus, ia sangat mahir dalam seni
pertempuran dan keprajuritan, hingga kakeknya mempercayakannya untuk beberapa
misi penting dan menugaskannya untuk duduk mendampinginya dalam beberapa
kesempatan. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya memang telah mencalonkan Abdurrahman ibn Muhammad sebagai pewaris tahta, karena ia telah menyerahkan
cincin kekuasaan kepadanya saat sakit menjelang kematiannya sebagai pertanda bahwa
ia menyerahkan kekuasaan kepada cucunya tersebut.[5]
Menjadi Khalifah
Abdurrahman
al-Nasir memegang jabatan kepemimpinan setelah kematian kakeknya, Abdullah, pada
usia yang masih sangat muda, yakni 21 tahun. Ia dinobatkan sebagai penguasa
Spanyol tanpa menimbulkan kontra.[6]
Masa-masa
sebelum Abdurrahman al-Nashir berkuasa merupakan masa-masa kelemahan dinasti
Umawiyah di Spanyol. Masa kelemahan tersebut dimulai setelah Abdurrahman II
wafat. Setelah kematian abdurrahman II, putranya, Muhammad bin Abdurrahman II
menduduki puncak kepemimpinan kemudian oleh kedua anaknya yaitu al-Mundzir dan
Abdullah. Dampak dari kelemahan inilah yang mengakibatkan banyak pemberontakan
di dalam negeri Andalusia. Banyak provinsi yang melepaskan diri, salah satunya
yang paling populer adalah pemberontakan oleh Umar bin Hafshun yang membuat
kawasan selatan memisahkan diri dan membentuk sebuah pemerintahan yang
menyerupai negara.[7]
Selain
pemberontakan, dampak lainnya adalah terbentuknya kerajaan Kristen baru di
Utara yaitu kerajaan Navarre yang sebelumnya hanya terdapat dua kerajaan
Kristen yaitu kerajaan Leon di Barat Laut dan Aragon di Timur Laut.
Kerajaan-kerjaan inilah yang menyerang wilayah utara Andalusia.
Selain kedua
dampak tersebut, yang tidak kalah berat adalah terbunuhnya sang pewaris tahta
Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman oleh saudaranya
al-Mutharif bin Abdullah. Di sisi lain, di wilayah Maghrib (Afrika Utara)
muncul pemerintahan baru yaitu Daulah Fathimiyah atau Daulah Ubaidiyyah pada
tahun 909 M[8]
yang menjadi ancaman besar bagi Daulah Bani Umayyah di Andalusia.
Ketika menerima
tampuk kekuasaan, Abdurrahman al-Nasir segera melakukan perubahan kabinet
yang ada dalam pemerintahan. Ia memecat orang-orang yang dipandangnya tidak
layak untuk menduduki posisi tertentu dan menggantikannya dengan orang yang
menurutnya memiliki kapabilitas, kemampuan, dan skill administratif.
Khilafah
Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan al-Muqtadir billah tewas terbunuh oleh
Mu’nis al-Muzhaffar al-Turki.[9]
Sementara itu orang-orang Fathimiyah telah memproklamirkan kekhilafahannya dan
menyebut diri mereka sebagai “Amir al-Mukminin”. Namun, Al-Nasir melihat bahwa
dirinya, setelah berhasil menyatukan Andalusia dan memiliki kekuatan yang besar
lebih berhak dengan nama dan urusan tersebut dibanding mereka. Maka pada tahun
929 M, ia pun menyebut dirinya sebagai Amir al-Mukminin dan menamakan
kekuasaannya itu sebagai Khilafah Umawiyah. Abdurrahman al-Nasir menjadi
orang pertama yang menyandang gelar Amir al-Mukminin di Andalus.[10]
Dengan demikian terdapat tiga khalifah Islam di dunia yaitu khilafah Abbasiyah
di Timur, khilafah Fatimiyah di Maghrib dan khilafah Umawiyah di Andalus.[11]
Usaha-usahanya
Mengatasi Pemberontakan Internal di Spanyol
Pada dua puluh
tahun pertama kekuasaannya, Khalifah Abdurrahman al-Nasir harus mengatasi
berbagai ancaman atas kesatuan wilayahnya.[12] Pelan
tapi pasti, Abdurrahman merebut kembali provinsi-provinsi yang hilang satu
demi satu. Dengan kekuatannya, yang ia perlihatkan selama periode kekuasaannya
yang panjang, sekitar setengah abad (912-961 M), ia memperluas wilayah
taklukkannya ke berbagai penjuru.
Musuh internal
bagi Daulah Umawiyah di Spanyol adalah dari kalangan umat islam sendiri. Setelah
selesai dengan persoalan dalam negerinya di Cordoba, Abdurrahman al-Nasir
mengirim sebuah misi yang dipimpin oleh Abbas bin Abdul Aziz al-Qurasyi ke
benteng Rabah yang dikuasai oleh seorang Barbar bernama al-Fath ibn Musa ibn
Zunnun yang didukung oleh seorang sekutunya bernama Orthblash. Dalam
pertempuran itu, al-Fath berhasil dikalahkan dan Orthblash terbunuh. Kepalanya
lalu dikirm ke Cordoba untuk digantungkan oleh al-Nasir di pintu gerbang kota
untuk menakut-nakuti para pemberontak. Benteng Rabah dan sekitarnya pun bersih
dari semua pemberontakan. Peristiwa ini terjadi pada Rabi al-Akhir tahun 300 H
atau satu bulan setelah ia menduduki kursi kekuasaan.
Musuh internal
terbesar bagi Abdurrahman al-Nasir adalah Umar ibn Hafshun. Selain karena
mendapat bantuan dari kerajaan-kerajaan Kristen di utara, Ibn Hafshun juga
mendapat bantuan dari selatan, yaitu dari pihak Daulah Fatimiyah.
Bantuan-bantuan lain juga dari Sevilla yang dikuasai oleh seorang penguasa
Muslim dari Bani Hajjaj yang memiliki pasukan yang besar.
Ibn Hafsun
melakukan pemberontakan dan makar terhadap negara selama empat puluh tahun,
dimulai tahun 879 M hingga tahun 917 M. Pemerintah daulah Umawiyah telah
menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk memeranginya secara terus menerus dan
peperangan tersebut menyibukkan negara yang juga berkonsentrasi secara penuh
menghadapi orang-orang Kristen Spanyol.[13]
Pada tahun 913 M
Abdurrahman berhasil merebut kota Jaen yang sebelumnya berada di bawah
kekuasaan Umar ibn Hafshun. Ia juga berhasil merebut kembali lebih dari 70
benteng yang merupakan persembunyian utama para pemberontak. Misi tersebut
menyebabkan pasukan Ibnu Hafshun mengalami kekalahan telak. Lalu pada tahun 914
M Abdurrahman al-Nasir kembali
melakukan penyerangan kepada Umar bin Hafshun dan berhasil memutus bantuan dari
pihak barat yang masuk melalui Sevilla. Ia berhasil merebut pegunungan Ronda,
Syadzunah, dan Carmona yang semuanya merupakan kota-kota di bagian barat.
Abdurrahman
al-Nasir semakin jauh masuk ke bagian selatan, hingga mencapai Selat Gibraltar
dan berhasil menguasainya. Dengan bgitu, ia berhasil memutuskan semua bala
bantuan yang datang untuk Ibn Hafshun dari pihak Daulah Fatimiyah yang masuk
dari jalur Selat Gibraltar. Ia juga memutuskan jalur bantuan yang biasa datang
dari negara-negara Kristen di utara melalui Laut Atlantik, kemudian masuk
melalui Selat Gibralar dan Laut Tengah. Saat itu, ia beberapa kali menemukan
kapal laut milik Ibn Hafshun yang sedang membawa bantuan dari negeri Maghrib
lalu membakarnya. Dengan demikian, Abdurrahman al-Nasir telah berhasil
memutuskan semua jalur yang selama ini membawa bala bantuan kepada Umar bin
Hafshun. Akhirnya Umar bin Hafshun tidak punya pilihan lain selain meminta
berdamai dan melakukan perjanjian dengan Abdurrahman al-Nasir, yaitu dengan
menyerahkan 162 benteng pertahanannya. .
Menjelang akhir
hayatnya, Umar ibn Hafshun kembali lagi ke agama Kristen bersama putrinya
bernama Argentia. Pengkhianat ini pun meninggal di Benteng Pishter dan
dikebumikan di gereja yang terletak di dalamnya pada tahun 305 H/ 917 M.[14]
Setelah Umar bin
Hafshun meninggal, wilayah kekuasannya diperebutkan oleh anak-anaknya. Hal ini
menyebabkan mereka terpecah belah. Ada di antara mereka yang berpihak kepada
Abdurrahman al-Nasir sehingga sejumlah peperangan berikutnya mmbuatnya lebih
mudah untuk menguasai semua wilayah pertahanan Ibn Hafshun dan membersihkannya
pada tahun 316 H.[15]
Melawan Daulah Fathimiyah
Di masa
kekuasaan Abdurrahman al-Nasir banyak musuh dari pihak internal maupun
eksternal yang mengancam kekuasaannya. Musuh yang paling berbahaya adalah
Dinasti Fatimiyah di selatan dan raja-raja Leon Kristen di utara.[16]
Pendiri
pemerintahan Fathimiyah yang juga dikenal dengan Dinasti Ubaidiyyah adalah
Ubaidillah ibn Muhammad al-Mahdi. Nama Ubaidiyyah dinisbatkan kepadanya.
Ayahnya telah berhasil menyebarkan dakwah Fathimiyah di negeri Yaman, kemudian
Yamamah, Bahrain, Sind, Mesir, dan Maghrib. Ubaidillah melanjutkan gerak
langkah dan jejak ayahnya dan meluaskan pengaruhnya.[17]
Al-Mahdi
berkuasa di saat pemerintahan Umawiyah di Andalusia sedang sibuk untuk
menghadapi berbagai pemberontakan yang saat itu menghantam Andalusia dari
dalam. Selain itu Andalusia juga disibukkan untuk menahan serangan pasukan
Kristen dari utara.
Dalam menghadapi
Daulah Fatimiyah, Abdurrahman al-Nasir mendirikan front baru di Maghrib.
Tahun 319 H, Abd al-Rahman mengirim sebuah pasukan dengan menggunakan kapal ke
Ceuta dan berhasil merebutnya dari tangan para penguasanya yaitu Bani Isham
yang merupakan sekutu dari orang-orang Fatimiyyun.[18]
Ceuta adalah kota penting di Afrika Utara karena ia menjadi kunci untuk masuk
ke Spanyol. Pasukan Islam pertama kali menaklukkan Andalusia melalui pelabuhan
Ceuta.
Setelah berhasil
merebut Ceuta, Abdurrahman al-Nasir melanjutkan penaklukkan ke kota Tangier
yang dikuasai oleh Al-Hasan bin Abi al-‘Aisy bin Idris al-Alawy. Dengan
mengirim armada lautnya dari Andalusia, pasukan Abd al-Rahman berhasil
mengepungnya hingga ia terpaksa menyerahkan diri.
Strategi untuk
memilih menyerang langsung Daulah Fatimiyah di Afrika Utara yang merupakan
markas Daulah Fatimiyah adalah strategi yang brilian. Ini dilakukan sebelum
orang-orang Fatimiyun dapat masuk ke Spanyol. Di saat yang sama memang Daulah
Fatimiyah juga sedang memperkuat pilar-pilar kekuatannya di wilayah Magrib
karena mereka tidak dapat memasuki Spanyol kecuali melalui Magrib.
Pihak Fatimiyyun
tidak tinggal diam. Khalifah al-Mu’iz li dinillah mengirim serangan balasan
kepada Abdurrahman al-Nasir. Ia memrintahkan armada lautnya untuk menghantam
wilayah tepian pantai Andalusia. Pada tahun 344 H kapal-kapal Fatimiyyun
menyerang benteng Almeria dan membakar semua perahu dan merusak semua apa yang
dapat dirusak. Melihat hal itu, Abd al-Rahman juga memerintahkan armada lautnya
keluar ke tepian pantai Daulah Fatimiyah dan menggempur mereka kembali pada
tahun 345. Orang-orang Fatimiyyun akhirnya sadar bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menghadapi Abdurrahman al-Nasir. Mereka tidak mengulangi
kembali apa yang mereka lakukan.
Abdurrahman al-Nasir Melawan Kerajaan-kerajaan
Kristen
Sebagai pembela
agama, Khalifah al-Nashir merasa bahwa tugasnya yang tertinggi adalah
mengobarkan perang suci melawan orang Kristen, yang tak henti-hentinya
memperlihatkan rasa iri dan mengincar wilayah leluhur mereka di selatan.[19]
Pada tahun 921 M Abdurrahman meyerang pihak Kristen di
Utara yang berada di bawah kerajaan Leon dan Navarre. Terjadilah pertempuran Mobesy
yang berlangsung selama tiga bulan. Abdurrahman berhasil meraih kemenangan
besar dan mendapat harta rampasan perang yang sangat banyak. Ia juga berhasil
merebut kota Salim yang sebelumnya berada di pihak Kristen.
Setelah empat
tahun dari pertempuran Mobesy, di tahun 924 M Abdurrahman memimpin sendiri
sebuah pasukan besar untuk menyerang kerajaan Navarre dan dalam beberapa hari
saja ia berhasil melumpuhkannya, serta memasukkan kota Banbalonah, ibu kota
Navarre sebagai milik kaum Muslimin. Setelah itu, ia mulai bergerak membebaskan
tempat-tempat lain yang telah dikuasai oleh pihak Kristen di masa kelemahan
Daulah Umawiyah sebelumnya.
Pada tahun 928 M
Abdurrahman mengirim sebuah pasukan lain ke timur Andalusia untuk meredam
pemberontakan lain di sana. Akhirnya ia kembali berhasil memasukkannya dalam
wilayah kekuasaannya. Di tahun yang sama ia mengirim pasukan ke barat Andalusia
sehingga ia mampu mengalahkan Abdurrahman al-Jilliqy. Dengan begitu, ia
berhasil memasukkan wilayah barat Andalusia ke dalam kekuasaannya kembali.
Dengan demikian,
Setelah 16 tahun Abdurrahman berhasil menyatukan seluruh Andalusia di bawah
satu panji. Ia menyatukan semuanya pada saat usianya belum melewati 38 tahun.[20]
Memajukan Perekonomian
Abdurrahman
al-Nasir sangat memperhatikan perekonomian di Andalusia. Di masanya, masyarakat
hidup dalam kemakmuran dan anggaran keuangan negara mencapai enam juta dinar
emas. Khalifah membaginya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk tentara,
sepertiga untuk pembangunan, gaji dan yang lainnya, sepertiga yang terakhir
untuk simpanan masa-masa yang sulit.
Pertanian juga
mengalami pertumbuhan yang pesat. Berbagai macam tananman dan buah-buahan
seperti tebu, zaitun, dan kapas terdapat di Spanyol. Khalifah juga menyiapkan
kebun-kebun khusus untuk menternakkan ulat sutra. Mengatur saluran-saluran
pembuangan dan cara pnyaluran air, menetapkan pengaturan waktu untuk menanam di
setiap musim.
Di antara yang
menjadi perhatian pentingnya juga adalah mengeksplorasi emas, perak, dan besi.
Demikian pula dengan kerajinan kulit, pembuatan perahu, alat-alat pertanian,
dan industri farmasi. Ia juga mendirikan banyak pasar yang terbagi sesuai
barang yang dijual seperti pasar khusus untuk tukang besi, daging, dan pasar
yang khusus menjual aneka macam bunga.
Sisi keamanan
Institusi
kepolisian termasuk posisi administratif paling penting yang berkaitan dengan
pengaturan keamanan. Institusi ini sebelum masa al-Nasir terbagi menjadi dua
tingkatan yaitu kepolisian tinggi dan kepolisian rendah. Namun sejak tahun 317
H di masa al-Nasir, institusi ini berdasarkan urgensinya dibagi menjadi tiga
bagian yaitu kepolisian tinggi, kepolisian tengah, dan kepolisian rendah.
Begitu juga dengan institusi peradilan dibagi menjadi dua bagian pada tahun 325
H. Sebelum masa al-Nasir institusi ini hanya berdiri sendiri menangani
pengaduan dan kezaliman, namun di masa al-Nasir masing-masing bagian itu dibuat
berdiri sendiri.
Membangun Kota Al-Zahra
Hal penting yang
membedakan sisi pembangunan fisik di masa abdurrahman al-Nasir adalah kota
besar yang didirikannya dan dikenal dengan nama Madinah al-Zahra (Kota
al-Zahra). Kota al-Zahra dibangun dengan model arsitektur yang sangat tinggi.
Untuk pembangunannya, Abdurrahman al-Nasir mendatangkan bahan-bahan dari
Konstantinopel, Baghdad, Tunisia dan dari Eropa. Kota yang dibangun di atas
lereng sebuah gunung ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah
bagian yang terdekat dengan gunung dihuni oleh sang Khalifah. Di sana dia
memiliki istana-istananya, taman peristirahatan, dan lain-lain. Di bagian
kedua, berdiam para pelayan dan sida-sida rumah tangga khalifah dan para
pengawal pribadinya. Terdiri dari 12.000 orang dengan pakaian terbaiknya
menyandang pedang serta mengenakan sabuk gemerlap berhiaskan emas. Satu
datasemen orang-orang ini senantiasa mengantarkan Khalifah kemanapun ia
berjalan dan menjadi penjaga di istananya. Bagian ketiga terletak di kebun dan
ruang santai. Di sana terdapat istana tempat Abd al-Rahman memutuskan cara
pandang kekuasaannya.
Seluruh bagian
istana dicukupi air melimpah yang dialirkan dari gunung-gunung di sekitarnya.
Bangunan dalam al-Zahra yang paling terkenal adalah pavilium yang langsung
menghadap ke kebun. Bangunan-bangunan ini disokong oleh tiang dengan lapisan
marmer ditempeli emas dan bertahtakan batu delima serta permata. Di depan
pavilium terdapat tangki besar berisi zabig atau air raksa yang selalu bergerak
terus-menerus dan memantulkan sinar matahari sampai ke pavilium.[21]
Di kota
al-Zahra, Abdurrahman al-Nasir mendirikan istana al-Zahra; istana yang belum
dibangun serupa itu pada masanya. Ia benar-benar mengerahkan upayanya dalam
membangunnya hingga menjadi salah satu mukjizat di zamannya. Banyak orang yang
datang dari Eropa dan seluruh negeri Islam untuk menyaksikan kemegahannya.
Istana al-Zahra terletak
7 km dari Cordova di atas tepi sungai Guadalquivir. Pembangunan istana ini
menghabiskan waktu 40 tahun, dan diselesaikan oleh putranya, al-Hakam.
Berdasarkan kesaksian para sejarawan yang bertandang ke istana ini, istana
al-Zahra merupakan salah satu keajaiban dunia.[22]
[1]Lihat Tim Riset dan Studi Islam
Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah,
terj. M.Taufik & Ali Nurdin, Ensiklopedi
Sejarah Islam 1, (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 384.
[2]Rinhart Dozy, Spanish Islam A History of Moslems in Spain
(London: Fank Cass, 1972), h. 382. Ibn Khalidun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 175. Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, terj. Muhammad Ihsan
& Abd al-Rasyad Shiddiq, Bangkit dan
Runtuhnya Andalusia Jejak Kejayaan Peradaban Islam di Spanyol, (Cet.I;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 214.
[3] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe
570-1215 terj. Yuliani Liputa, The
Greatness of al-Andalus Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat, (Cet.III;
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 463.
[4] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe
570-1215, h. 463.
[5] Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,
h. 215-216.
[6]Lihat Tim Riset dan Studi Islam
Mesir, h. 384.
[7]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,
h. 207.
[8]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth,
h. 209.
[9]Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa
Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: t.p, 1958), h. 248. Ibn
Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176.
Ahmad Thomson, Islam in Andalus, h.
66.
[11]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa
Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: tp, 1958), h. 248-249.
[12]W. Montgomery Watt, The Influence on Medieval Europe, terj.
Hendro Prasetyo, Islam dan Peradaban
Dunia Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan (Cet.III; Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4
[13]Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami,
terj. Muhyiddin Mas Rida, Pengkhianat-Pengkhianat
dalam Sejarah Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 164.
[14] Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami, h.
164.
[15] Raghib al-Sirjani, h. 227.
[16]Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Cet.I; Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 662.
[17] Ahmad al-Usairy, al-Tarikh
al-Islamiy, terj. Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam
hingga Abad XX, (Cet.VI; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 269.
[18]Lihat Raghib al-Sirjani, h. 235.
[19]Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 666.
[20]Raghib al-Sirjani, h. 228.
[21] Ahmad Thomson, Muhammad Ata’
al-Rahim, Islam In Andalus, terj.
Kampung Kreasi, Islam Andalusia, Sejarah
Kebangkitan dan Keruntuhan, Cet.I; Ciputat: Penerbit Gaya Media Pratama,
2004), h. 68-69.
[22] Tim Riset dan Studi Islam Mesir,
al-Mausuah al-Muyassarah h. 387.
3 komentar:
Bagus terima kasih
Assalamualaikum,.
Slamat malam. Maaf sebelumnya saya mau minta bantuan. Saya sedang menyelesaikan studi S1 saya, dan saya sedang mencari buku Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth. Barangkali bapak bisa bantu saya,. Terimakasih sebelumnya pak
waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. kalau terjemahannya saya punya. cetakan pustaka al kautsar. kalau kitab aslinya sy blum punya. cm teman sy pernah bilang dia punya aslinya, tapi dlm bentuk pdf. mungkin anda bisa donlot pdfnya.
Posting Komentar