06.09 -
Kisah,Sejarah Islam
No comments
Sejarah Berdirinya Kota Baghdad
Rasanya kurang lengkap membahas sejarah Islam tanpa membahas
sejarah dinasti Abbasiyah. Ketika membahas dinasti Abbasiyah sudah tentu tak
dapat dipisahkan dengan kota Baghdad. Kota yang di masa silam dikenal sebagai negeri
metropolitan. Negeri 1001 malam.
Ketika pertama kali daulah Abbasiyah mengambil alih kekuasaan
dari dinasti Umawiyah yang berpusat di Damaskus, kota itu tidak bersahabat dengan
orang-orang Abbasiyah. Damaskus kota yang jauh dari Persia, basis kekuasaan
Abbasiyah. Abu al-Abbas al-Saffah, khalifah pertama Daulah Abbasiyah mulai mencari
tempat untuk dijadikan pusat pemerintahannya. Ia memilih Kufah, Irak, hingga
dia meninggal.
Abu Ja’far al-Mansur, menggantikan Al-Saffah sebagai khalifah
kedua Abbasiyah. Dia mencari kota yang baru dan akhirnya menemukan lokasi sebuah
dusun kecil Persia bernama Baghdad. Baghdad yang dalam bahasa Persia berarti “Didirikan
Tuhan”[1]
dahulu adalah kota kuno terletak antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat. Di
masa Rasulullah, kota ini menjadi sebuah kota pasar dan ketika khalifah
al-Manshur mengunjunginya, pasar-pasar tersebut telah lenyap dan digantikan menjadi
biara-biara Kristen.[2]
Pada tahun 146 H (762 M), ketika pertama kali membangun kota
Baghdad, pada peletakan batu pertama khalifah al-Manshur mengatakan:
“Bismillahirrahmanirrahim. Bumi adalah milik-Nya. Dia mewariskannya
bagi siapa yang Dia kehendaki kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Kemenangan
adalah milik orang-orang bertakwa.”[3]
Ratusan ribu pekerja ahli bangunan terdiri dari arsitktur,
tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat dan lainnya yang didatangkan
dari Suriah, Mosul, Basrah, dan Kufah dikerahkan untuk membangun kota seribu
satu malam tersebut dengan biaya yang sangat besar. Sejarawan mengatakan bahwa
Abu Ja’far al-Manshur membiayai biaya pembangunan Baghdad sebesar 18.000 dinar.[4]
Dengan dana yang begitu besar, dibangunlah bangunan-bangunan megah: Istana,
masjid, jembatan, saluran air, dan berbagai benteng serta kubu pertahanan.
Istana dibangun di tengah-tengah kota Baghdad yang bundar, dan di samping istana dibangun masjid Jami’. Istana khalifah dibangun dengan megah. Pintunya diberi banyak sepuhan emas. Terbuat dari batu dan pualam serta memiliki kubah hijau besar yang dipuncaknya dipasangi patung seorang penunggang kuda yang berputar-putar seperti kincir penunjuk arah angin.
Di atas tembok dalam, sebuah balkon terentang sepanjang kubu
benteng yang cukup luas bagi sang khalifah untuk menaiki kuda sembari memeriksa
daerah sekilling. Terdapat empat pintu gerbang kota dengan empat jalan raya yang
menandai empat penjuru mata angin, menyebar ke luar seperti jari-jari sebuah
roda dengan pusatnya adalah istana khalifah. Masing-masing gerbang diberi nama
sesuai kota besar atau kawasan yang ditujunya: Damaskus, Basrah, Kufah, dan
Khurasan.[5]
Tidak lama, kota Baghdad berkembang psat melampaui rancangan
awalnya, menjadi lebih luas dengan banyaknya bangunan-bangunan dan pemukiman.
Ia meliputi taman-taman yang luas dan aneka tempat rekreasi. Bahkan orang-orang
nonmuslim diberikan kebebasan membangun tempat tinggalnya. Terdapat sebuah
kawasan Kristen, dilengkapi dengan gereja, biara, dan asrama biarawati.
Baghdad juga memiliki pelabuhan yang sangat maju untuk penggunaan
komersial. Tiga jembatan berukuran besar yang terdapat di hulu, hilir, dan tengah-tengah
kota. Dilekatkan ke tiang-tiang besar di kedua tepi sungai Tigris dengan rantai
besi. Sekitar tiga ribu sampan juga mengangkut orang bolak-balik.
Sementara itu, di tepi timur sungai Tigris, berdiri istana
al-Rusafah milik Muhammad al-Mahdi, putra khalifah al-Manshur. Sebuah pemukiman
tumbuh di sekitarnya berseberangan dengan istana kedua yang dikenal sebagai al-Khuld, dibatasi oleh taman-taman luas
yang terhampar sepanjang tepi barat.
Setelah beberapa waktu, kota ini memiliki lapangan-lapangan publik
berukuran besar untuk balapan kuda dan polo.[6]
Sebuah istana yang dibangun di sekilling sebatang pohon perak murni dengan
burung mekanis yang berkicau. Terdapat juga kebun binatang dengan
kandang-kandang bertrali untuk singa, gajah, merak, macan, dan jerapah.
Baghdad yang dinamakan Madinah
al-Salam (Kota Kedamaian) oleh al-Manshur seakan disulap dalam satu malam menjadi
kota terbesar di dunia dan tiada bandingannya. Di dalamnya terdapat banyak
ulama dan cendikiawan. Al-Manshur mengumpulkan para ulama di Baghdad dari seluruh
negara dan wilayah sehingga Baghdad menjadi induk dunia, tuan negara dan tempat
lahirnya peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah.
Demikianlah sejarah singkat pembangunan kota Baghdad yang
nantinya, di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan setelahnya menjadi kota metropolitan dengan
penduduk terbanyak di dunia mencapai dua juta orang. Saingannya adalah kota
Cordoba di Spanyol dibawah pemerintahan Islam dinasti Umawiyah dengan 500.000
jiwa.[7]
Sementara itu, Paris, kota Kristen terbesar di Eropa, hanya mencapai 200.000 hingga
300.000 jiwa saja.[8]
[1]
Benson Bobrick, The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age
of Baghdad,
terj. Kejayaan Sang Khalifah Harun
al-Rasyid Kemajuan Peradababan Dunia pada Zaman Keemasan Islam (Cet.I;
Ciputat: PT Pustaka Alvabet, 2013), h. 23
[2]
Benson Bobrick, The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age
of Baghdad, h. 23-24.
[3]
Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 1421 H/ 2000 M), h. 247.
[4]
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah, terj. Ensiklopedi Sejarah Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2013), h. 247.
[5]
Benson Bobrick, The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age
of Baghdad, h.
26.
[6]
Benson Bobrick, The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age
of Baghdad, h. 27.
[7]
Raghib al-Sirjani, Madza Qaddama al-Muslimun li
al-‘Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah, terj. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia (Cet.I; Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), h. 765.
[8]
Maurice Lombard, The Golden Age of Islam, (Cet.I; New
York: North Holland Publishing Company, 1975), h. 144.
0 komentar:
Posting Komentar