Selasa, 30 Desember 2014

147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam

“Tidak ada satupun ilmuwan di pusat-pusat ilmu pengetahuan Eropa kecuali ia telah menengadahkan tangannya untuk mendapatkan khazanah ilmu pengetahuan bangsa Arab, dan kehausan seperti mereka haus untuk mendapatkan air tawar. Tidak ada di sana satu buku pun di antara buku-buku yang ada di Eropa pada saat itu, kecuali semua lembarannya bersumber dari peradaban bangsa Arab.” Zigrid Hunke, Orientalis Jerman.

“Sudah merupakan kewajiban kita untuk memperbaiki kesalahan dan mengakui hutang-hutang kita yang teramat banyak kepada dunia Arab.” (William Montgomery Watt, Guru besar Fakultas Study Islam di Universitas Edinburgh)

Islam pernah berjaya dengan melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar di berbagai bidang, mulai dari kedokteran, sains, matematika, aljabar, geomteri, geografi, astronomi, sastra, filsafat, hukum, hingga musik.

Abu Bakar ar-Razi, dokter Muslim terbesar kelahiran Rayy, Iran tahun 854 M ini menguasai masalah-masalah kedokteran dan farmasi. Dia adalah pelopor dalam bidang klinik kedokteran dan orang yang pertama kali melakukan eksperimen pengobatan kepada hewan sebelum dipraktekkan kepada manusia. 

Metode inilah yang hingga sekarang menjadi pedoman penting bagi kedokteran modern. Ar-Razi banyak menghasilkan tulisan dalam berbagai bidang, di antara karyanya yang terkenal adalah kitab al-Hawi. Buku ini adalah buku ensiklopdia kedokteran yang meliputi semua ilmu pengetahuan kedokteran Arab, Yunani, India yang dikumpulkan oleh ar-Razi pada zamannya. Raja Prancis, Louis XI (1423-1483) membayar dalam jumlah besar berupa emas dan perak agar para dokter mengkopi buku itu dan menjadikannya sebagai rujukan dalam mengobati keluarga kerajaan (hal. 111)

Di Spanyol (Andalusia) ada nama Abu al-Qasim az-Zahrawi, seorang ilmuwan Arab Muslim terbesar dalam bidang bedah (operasi) yang lahir pada tahun 937 M di kota Az-Zahra, Spanyol. Dia dikenal sebagai ahli bedah terbesar di dunia hingga masa kebangkitan Eropa. Ia adalah pelopor pertama dalam berbagai cabang ilmu bedah dan seninya, serta banyak menemukan berbagai peralatan bedah.

Az-Zahrawi menemukan berbagai macam obat-obatan untuk bedah sesuai dengan berbagai macam tujuan bedah dan peralatannya, seperti gunting, pengikat, alat pelebar, dan baju pelindung dnga ukuran yang berbagai macam. Dia adalah orang yang menemukan cara menjahit luka bedah dengan dua jarum dan satu benang. Dia menggunakan benang buatan dari usus binatang dalam menjahit usus manusia. Berhasil memotong tumor daging yang tumbuh di hidung dan berhasil memotong amandel dari pangkalnya dengan cara operasi. Dan masih banyak keahliannya yang lain.

Di antara karya az-Zahrawi adalah buku At-Tashrif liman Ajiza an at-Ta’lif merupakan ensiklopedia kedokteran lengkap. Buku ini mendapat perhatian sangat besar di Eropa sehingga banyak orang-orang Eropa yang mempelajarinya dan menerjemahkannya. (h.134)

Selain dua ilmuwan di atas masih banyak ilmuwan lainnya yang banyak dilupakan oleh umat Islam pada masa sekarang ini seperti Ibnu Sina, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, Jabir bin Hayyan, Al-Haitsam, dan masih banyak lagi.

Buku ini memberikan informasi tentang biografi para ilmuwan Muslim berikut karya-karya mereka yang fenomenal yang memiliki andil besar dalam kemajuan pengetahuan dan peradaban di Eropa.



Judul Buku: 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam
Penulis: Muhammad Gharib Gaudah
Penerbit: Pustaka Al-Kautsar
Tebal: 410 halaman


Minggu, 28 Desember 2014

Khalifah Harun ar-Rasyid dan Segelas Air Minum

Suatu hari, As-Sammak datang menemui khalifah Harun ar-Rasyid. Ketika itu Khalifah meminta air minum kepada pelayannya dan pelayannya membawakan segelas air. 

Ketika Harun akan meminum air itu, As-Sammak berkata, “Tahanlah wahai Amir al-Mukminin, andaikata orang-orang mencegahmu untuk meminum air ini, berapa yang akan kau keluarkan untuk membeli air ini?”

“Akan saya beli dengan separuh kerajaanku.” Jawab sang khalifah.

As-Sammak berkata, “Minumlah semoga Allah memberi kenikmatan untukmu!”

Ketika Harun ar-Rasyid tlah selesai minum, as-Sammak berkata lagi, “Saya bertanya kepadamu andaikata air itu tidak bisa keluar dari perutmu, dengan harga berapa engkau akan membayarnya?”

Harun menjawab, “Dengan semua kerajaanku!”

As-Sammak berkata, “Jika krajaanmu harganya sama dengan seteguk air dan sekali buang air kecil, sudah sepantasnya orang-orang tidak memperebutkannya!”


Mendengar itu Harun ar-Rasyid menangis.

Imam As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa (Edisi Terjemahan), h. 352. Pustaka al-Kautsar, 2013.

Khadijah The True Love Story of Muhammad

Tatkala Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pulang ke rumah setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira melalui wasilah malaikat Jibril, saat itu Muhammad belumlah menjadi seorang Rasul, dengan peluh yang membasahi tubuh dan pakaiannya, gemetar dan menggigil yang luar biasa Ia meminta pada istrinya agar diselimuti biar hilang ketakutan dan galaunya itu, “Selimutilah aku, selimutilah aku!”



“Aku khawatir terhadap keadaan diriku” kata Rasulullah galau dalam balutan selimutnya. 

Istri yang cantik nan shalihah itu menenangkannya dan berkata dengan lembut:

“Tidak. Demi Allah. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau selalu menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan beban orang lain, memberi makan orang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.” 

Duh, indahnya kata-kata ini. Laki-laki mana yang tidak tenang dengan kata-kata ini. Tentu saja cinta menjadi semakin membumbung tinggi ke angkasa. 

Dialah Khadijah, Istri Nabi tercinta, ibunda kaum mukminin.

Bunda Khadijah adalah simbol kesetiaan. Bersama Rasulullah, tak jarang ia mengalami masa-masa sulit. Namun, tak peduli dengan cobaan dan ujian apa yang menimpa suaminya, terlebih atas perlakuan orang-orang musyrik Quraisy yang menentang dakwah beliau, ia tetap setia dan istiqamah di sisi suami tercinta hingga maut menjemputnya. Khadijah wafat di saat pemeluk Islam masih bisa dihitung jari. Tahun yang sangat menyedihkan tidak saja bagi Rasulullah, tapi juga bagi seluruh kaum muslimin hingga tahun itu disebut sebagai ‘aam al-huzn’ atau tahun kesedihan karena perginya Khadijah beserta paman Rasulullah, Abu Thalib.

Buku ini mengisahkan kepada kita kisah hidup Khadijah yang luput dari kita sebelum dan setelah ia memeluk Islam. Buku ini juga mengisahkan kebahagiaan Khadijah dan Rasulullah dalam menjalani bahtera rumah tangga, juga saat menghadapi kesulitan dalam mendakwahkan agama yang haq, Islam. Radhiyallahu anha.

Judul Buku: Khadijah The True Love Story of Muhammad 
Penulis: Abdul Mun'im Muhammad
Penerbit: Pena Pundi Aksara
Tebal: 364 halaman

Mencintai, Namun Tak Memiliki

Pernah dalam sebuah acara di radio, seorang pelajar SMA menelepon dan menumpahkan problemnya. Sambil
terisak-isak layaknya anak kecil dia menceritakan tentang kekasihnya yang mengkhianati cintanya. Sang penyiar dengan sabar mendengarkan curahan hati pemuda itu dan kemudian menenangkannya. Hingga terucap kata dari pemuda itu,”Selama saya masih hidup saya tidak biarkan dia bahagia…” Duh, malangnya.

 “Cinta tidak harus memiliki” Mungkin sederetan kata ini sudah biasa didengar oleh mereka yang sedang broken heart. Mencintai seseorang tapi sayang cintanya tak bersambut. Memendam rasa tapi kenyataannya dia tidak ditakdirkan menjadi pasangan dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia ini.

Kisah dari tanah Arab yang masyhur di telinga kita, Qais yang jatuh cinta pada gadis cantik bernama Layla (dalam kisah Layla-Majnun). Dengan penuh percaya diri Qais beserta keluarga bertandang ke rumah Layla dengan maksud melamarnya. Tapi siapa menduga keluarga Layla menolak lamaran keluarga terhormat itu. Hati Qais pedih tak terkira. Samurai serasa menyayat-nyayat dirinya. Jiwanya selalu merindu Layla, pikirannya tak henti mengenang, lidahnya terus menyebut namanya. Layla, Layla, Layla. Semakin hari kesehatannya makin memburuk. Tapi sayangnya Layla dinikahkan dengan pemuda lain. Mendengar kabar itu akhirnya Qais menjadi gila. Gila dalam bahasa arab adalah Majnun.

Sedikit terinspirasi dari kisah Layla-Majnun, Shakespeare melahirkan karya Romeo dan Juliet. Kisah cinta yang berakhir dengan keduanya menenggak racun karena tak ingin berpisah. Sehidup semati. Kira-kira begitu dibilang.

Mungkin banyak orang menganggap itulah cinta suci. Cinta yang tak berbaur dengan debu-debu nafsu. Tapi, saya kira tidak ada salahnya kita silang pendapat karena pendapat manusia manapun boleh diterima dan boleh ditolak (kecuali Rasulullah). “Mencintai tak harus memiliki” disitulah letak kesalahan kisah Qais dan Romeo, tidak mengenal kata-kata itu. Hanya saja jiwa mereka telah rapuh. Dipermainkan dan menjadi budak cinta. Dan mati karena cinta buta. sungguh tragis.
Cinta tumbuh dari hati yang terdalam, hadir dengan ikhlas meski tak diundang sebelumnya. Jadi begitulah cinta tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar seseorang mau mencintai kita.

Dialah Muawiyah, raja pertama Dinasti Umawiyah yang jatuh cinta pada gadis desa yang cantik dan polos. Dengan kedudukannya dia mampu mempersuntingnya. Dibawanya ke istananya yang dipenuhi pelayan-pelayan yang siap membawakan apapun yang diminta serta menjalankan apapun yang diperintahkan.

Hari berganti hari, namun bagi wanita itu istana baginya seperti bui yang mengekang. Makanan lezat terasa hambar. Hingga suatu hari Muawiyah mendengar istrinya itu melantunkan bait-bait syair kerinduannya pada seorang pemuda di kampungnya. Dialah pemuda pujaannya. Pemuda yang dicintainya. Dan dia bukan suaminya kini, Muawiyah. Akhirnya dengan berat hati Muawiyah mentalak istrinya itu dan dipulangkan ke dusunnya.

Itulah cinta. selalu penuh misteri. Tak mudah tertebak. Sosok Muawiyah yang tampan, keturunan terhormat, tinggal di istana kekhalifahan tak mampu memaksakan seorang gadis dusun untuk mencintainya. Karena memang cinta tidak diukur dengan materi atau sebagainya. Tanpa paksaan. Seringkali, seorang yang paling mencintai kita tidak menjadi yang paling kita cintai. Dan mungkin, orang yang paling kita cintai membuat hati kita tersayat-sayat. Seperti kisah Mu’awiyah di atas.

Mencintai dan dicintai bukanlah suatu yang dapat kita paksakan karena masing-masing manusia punya perasaan tersendiri yang memutuskan siapa yang pantas dan tidak pantas untuk dicintai.

Dialah Nailah, gadis delapan belas tahun yang dinikahi Utsman bin Affan (salah satu sahabat Rasulullah). Saat itu usia Utsman tidak muda lagi. Lebih pantas menjadi bapak bagi Nailah. Menyadari dirinya tidak muda lagi Utsman memberanikan diri bertanya, “Apakah engkau tidak keberatan menikah dengan orang yang sudah tua sepertiku?” sambil menunduk tersipu-sipu Naylah menjawab,”Aku termasuk wanita yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua.” “Tapi aku melampau ketuaanku.”kembali Utsman berkata. Mendengar itu Nailah tersenyum, menunduk, dan kembali berkata,”Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan itu jauh lebih aku sukai dari segala-galanya.” Duhai, indahnya perkataan itu.

Itulah cinta. Cinta yang lahir dan hadir dari hati yang tulus tanpa ada paksaan. Lalu ketika Utsman syahid (wafat) tidak sedikit yang datang meminang Nailah. Dengan kerendahan hati Nailah menolaknya dan menjawab,”Tidak mungkin ada seorang manusia yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Semoga Allah mempertemukan mereka kembali dalam kenikmatan tanpa akhir di surga-Nya kelak.


Biarkan cinta itu mengalir apa adanya………..

Senin, 22 Desember 2014

Islam yang Asing

“Islam awalnya dalam keadaan asing” Sabda baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam suatu ketika, “kemudian akan kembali asing sebagaimana awalnya” Lanjut beliau.

Ketika SMA dulu, masa-masa awal mulai rutin shalat di masjid ada satu kisah yang sampai sekarang masih teringat dalam memoriku. Di tengah perjalanan menuju masjid, aku bertemu dengan seorang teman yang juga menuju ke masjid. Dia memakai baju kaos dan celana pendek. Ketika sampai di masjid, dia mengeluarkan sarungnya yang diselipkannya di celana belakangnya.

Aku cukup kaget. Sebelumnya saya pikir dia tidak datang shalat.

Malu dilihat orang-orang?

Semestinya orang yang tidak shalat yang harus malu.

Mengingatkan kita pada kondisi 5 tahun pertama dakwah Islam di Mekah. Ketika itu tidak ada yang berani shalat di sekeliling Ka’bah karena takut ancaman orang-orang Musyrik Mekah. Hal ini terjadi sampai Umar ibn Khattab masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian.

Bedanya, generasi dahulu tidak shalat di rumah Allah karena takut akan keselamatan dirinya dari ancaman dari orang-orang Musyrik. Generasi sekarang malu dengan sesama umat Islam.

Malu dibilang alim (shalih).

Kisah kedua, dari kisah seorang teman ketika melakukan safar ke luar kota. Ketika sampai di sebuah desa dia berhenti sejenak dan singgah di sebuah masjid. Masjid yang tampak tak terurus karena rumput liar yang lebat di sekitarnya. Karena telah masuk waktu shalat dhuhur, dan tak ada tanda-tanda warga datang shalat, akhirnya dia menyalakan sendiri mic-nya dan mengumandangkan adzan. Setelah adzan terkejutnya dia melihat di sekitar masjid sebagian orang memandangnya dari balik jendela. Pemandangan aneh menurut mereka.

Asing. Ini mungkin salah satu contoh terasingnya Islam pada sabda Rasulullah di atas.

Bagaimanapun ini kisah lama. Dulu sekali. Dan saya yakin sekarang umat Islam telah menyadari kewajibannya. Islam telah tersebar hingga ke pelosok. Jilbab bukanlah hal asing lagi di tengah masyarakat, bahkan sekarang telah menjadi trend.


Hanya saja masjid masih sering terlihat sunyi dan sepi terutama di waktu subuh. Padahal dari bangunan suci bernama masjid ini peradaban Islam dibangun. Bermula dari sini istana-istana Romawi runtuh. Bermula dari sini istana Persia hancur berikut peradabannya yang pernah bertahan selama ratusan tahun. 

Kamis, 04 Desember 2014

Yahudi dan Islam dalam Lintasan Sejarah

Sejarah Yahudi

Yahudi adalah salah satu agama samawi selain Islam dan Kristen. Agama yang memiliki Nabi dan kitab suci yang diturunkan oleh Allah. Penamaan “Yahudi” mulai ketika mereka bertobat dari menyembah anak sapi. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau.” (QS. Al-A’raf: 156). Artinya, kami bertobat dan kami kembali kepada-Mu.[1]

Menurut sebuah riwayat, mereka dinamakan Yahudi karena mereka bergerak-gerak (yatawahhad) ketika membaca Taurat. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka dinamakan Yahudi karena dinisbatkan kepada Yehuda, anak keempat Nabi Ya’qub alaihi al-salam yang nama aslinya adalah Yehuza, pemimpin bagi sebelas anak Ya’qub lainnya.[2]

Bani Israil menyembah patung sapi
Yahudi dan Islam memiliki keterkaitan dari sisi nasab. Berasal dari satu bapak yakni Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memiliki istri bernama Sarah, dari Sarah lahir Ishaq yang kelak memiliki anak bernama Ya’qub. Nabi Ya’qub inilah yang menjadi cikal bakal orang-orang Yahudi sehingga dia disebut Bani Israil. Di sisi lain, Nabi Ibrahim juga memiliki anak bernama Ismail dari istrinya yang lain bernama Hajar. Dari keturunan Ismail inilah lahir Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Islam dan Yahudi di Madinah

Nabi Muhammad bersentuhan dengan kaum Yahudi ketika Islam pertama kali datang ke Madinah. Nabi selalu memperlakukan mereka dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar hati dan akal pikiran mereka terbuka menerima agama ini. Nabi saw. membiarkan mereka, membuat kesepakatan dengan mereka dan menjamin keselematan nyawa dan harta mereka. Dia juga mengajak mereka masuk Islam agar mereka selamat dari sesatnya kemusyrikan dan kezaliman. Kemudian Nabi membuat perjanjian untuk melindungi dan menghormati akidah mereka, tidak mengganggu dan menghalangi jalan masing-masing. Namun, mereka mengingkari perjanjian tersebut.
Yahudi Bani Qainuqa adalah Yahudi pertama yang mengingkari janji dengan Rasulullah. Pemicunya adalah seorang Muslimah datang ke pasar mereka. Ia duduk di depan salah seorang pengrajin perhiasan. Orang-orang Yahudi merayunya agar membuka cadar yang dipakainya, tapi Muslimah itu menolak. Lalu pengrajin itu mengambil ujung baju Muslimah dan mengikatkannya ke punggung Muslimah itu. Ketika Muslimah itu berdiri, terbukalah auratnya dan mereka menertawakannya. Sang Muslimah pun berteriak minta tolong. Mendengar teriakannya, seorang lelaki Muslim menerjang dan membunuh pengraji Yahudi tadi. Melihat itu, orang-orang Yahudi membunuh laki-laki itu. Mendengar berita kematia si lelaki, keluarganya yang Muslim menuntut pertanggung jawaban orang-orang Yahudi tersebut. Maka Rasulullah datang  dan mengepung mereka selama limabelas malam. Atas perintah Nabi, mereka turun dan diberi hukuman meninggalkan Madinah.[3]

Sikap ingkar janji yang dilakukan kaum Yahudi mulai terlihat yaitu ketika terjadinya Perang Badar dan juga Perang Uhud. Kaum Yahudi berjumlah 300 orang dipimpin Abd Allah bin Ubay, seorang munafik yang awalnya bersedia membantu kaum Muslimin tiba-tiba membelot dan kembali ke Madinah yang mengakibatkan kaum Muslimin mengalami kekalahan sehingga Nabi dengan tegas mengusir Bani Nadhir, salah satu dari dua suku Yahudi yang berkomplot dengan Abd Allah bin Ubay keluar kota. Sebagian besar mengungsi ke Khaibar. Sedangkan suku Yahudi yang lain, yaitu Bani Quraizhah masih tetap berada di Madinah.

Pengkhianatan kaum Yahudi yang lain adalah dengan bergabungnya mereka dengan orang-orang kafir yang menyerang Madinah dengan cara mengepung Madinah pada Perang Khandak. Dalam suasanan kritis ini, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah di bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Namun, usaha pengepungan tidak berhasil dan akhirnya dihentikan. Sementara itu, pengkhianat-pengkhianant Yahudi Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.[4]

Yahudi juga berusaha melakukan makar untuk membunuh Nabi saw. Seorang Yahudi bernama Amr bin Jahsy bin Ka’ab naik ke atas sebuah rumah dan hendak melemparkan batu besar kepada Rasulullah. Akan tetapi Allah melindungi Rasul-Nya. Allah mengirimkan kabar dari langit tentang rencana kaum tersebut. Lalu Rasulullah bergegas pulang ke Madinah dan menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang usaha pengkhianatan orang Yahudi tersebut. Para sahabat bergegas memerangi mereka. Ketika orang-orang Yahudi mengetahui kedatangan pasukan Muslim, mereka berlindung di benteng-benteng. Rasulullah mengepung mereka selama enam malam. Nabi saw. memerintahkan untuk memotong pohon kurma dan membakarnya. Kemudia Allah menelusupkan rasa takut di hati mereka hingga mereka miminta Rasulullah agar mengizinkan mereka keluar dari Madinah dan mengampuni nyawa mereka serta meminta izin untuk membawa harta mereka seberat yang dapat dipikul unta-unta mereka, kecuali senjata. Rasulullah pun mengizinkannya lalu mereka keluar menuju Khaibar dan ada yang pergi menuju Syam.[5]

Di antara pengkhianatan Yahudi yang lain adalah seorang wanita bernama Zainab binti al-Harits bin Sallam. Dia memberikan kambing panggang beracun kepada Nabi. Saat itu, Nabi bersama sahabatnya, Basyar bin al-Barra bin Ma’rur. Mereka mengambil pahanya dan memakannya. Kemudian Rasulullah memuntahkannya dan bersabda, “Daging ini memberitahukan kepadaku bahwa ia beracun.” Maka wanita itu didatangkan dan dia mengakui perbuatannya. Rasulullah memaafkannya. Akan tetapi, ketika Basyar bin al-Barra mati keracunan karena memakan daging kambing beracun itu, Nabi membunuhnya sebagai qishash atas perbuatannya.[6]

Yahudi pasca Kematian Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Sepeninggal Rasulullah, negara Islam tidak pernah lepas dari makar dan tipu daya Yahudi. Mereka terus melanjutkan tindakan-tindakan keji mereka. Pada zaman Khulafa al-Rasyidun, mereka masuk Islam dan menjadi anggota kaum munafik agar dapat leluasa berbuat makar dan tipu daya terhadap Islam. Para sejarawan Muslim sepakat bahwa pembunuhan Umar bin Khattab merupakan hasil dari rencana orang-orang Yahudi, Majusi, dan Romawi yang dijalankan oleh Abu Lu’lu’ah al-Fairuz, seorang budak beragama Majusi.[7]

Di akhir masa kekhalifahan Utsman terjadi pergolakan setelah sepuluh tahun masa kekhalifahannya yang penuh dengan kemakmuran dan penaklukkan atas negeri-negeri lain. Sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa pemimpin kelompok ekstrim dan orang-orang munafik yang sangat memusuhi Islam masuk dalam aksi pembangkangan ini. Mereka dipimpin oleh seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah bin Saba’. Dia berpura-pura masuk Islam, menyulut kekisruhan yang berakibat pada pembunuhan Utsman. Konspirasi orang-orang Yahudi juga berlanjut di masa Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Saba’ mengatakan bahwa Ali adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi. Bahkan sampai mengatakan Ali adalah seorang Nabi dan Tuhan. Demikianlah dia merusak akidah umat Islam.

Yahudi di masa Dinasti Turki Utsmani

Pemerintah Dinasti Utsmaniyah menerima ribuan pengungsi Yahudi yang lari dari tekanan agama Nasrani di Spanyol dan negara Nasrani lainnya. Pemerintahan Utsmaniyah mengeluarkan undang-undang yang melindungi agama Yahudi, yaitu menegaskan perlindungan dan penghormatan bagi ahl al-Dzimmah. Ketika Sultan Bayazid II menjadi Khalifah Dinasti Ustmaniyah, dua orang Rahib Yahudi Eropa datang dan meminta kepadanya agar mengizinkan mereka hijrah ke negara Turki Utsmani dan Sultan mengizinkannya.[8]

Di bawah hukum Islam, Rahib Yahudi menjadi Pasya di Istanbul, yaitu menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Yahudi di hadapan pemerintah Turki Utsmani, bertanggung jawab menentukan jumlah pajak bagi masyarakat Yahudi dan mengangkat pimpinan daerah masyarakat Yahudi. Pemerintah Turki Utsmani memberikan mereka otonom dalam bidang keagamaan, administrasi dan syariat.

Kebanyakan orang Yahudi tinggal di wilayah Turki Utsmani, khususnya di sebelah Timur. Namun tidak sedikit yang tinggal di negara-negara besar lainnya seperti di Baghdad, Halab, Damaskus, Kairo, dan Yaman. Ketika orang-orang Utsmani menaklukkan negara-negara tersebut dan memasukkannya ke dalam kekuasaan mereka, secara otomatis orang-orang Yahudi yang tinggal di dalamnya menjadi warga negara Turki Utsmani sebagai penduduk Ahl al-Dzimmah. Pemerintah Utsmaniyah adalah pemerintahan yang paling ramah menyambut mereka yang lari dari Eropa Nasrani.

Orang-orang Yahudi merambah berbagai lapangan bisnis dan industri. Mereka kemudian menjadi pemilik toko-toko besar di Azmir, Salanik, dan Istanbul. Mereka juga memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan terhormat. Untuk mewujudkan cita-cita, sebagian di antara mereka berpura-pura masuk Islam dan berganti nama dengan menggunakan nama Islam. Mereka ini dinamakan ‘Yahudi Dunamah’.[9] Kelompok Yahudi Dunamah ini menguasai berbagai lapangan hidup di Turki. Mereka menjadi anggota beberapa partai politik besar. Mereka juga menguasai media massa berpengaruh di Turki.
Pada akhirnya, berkat orang Yahudilah kekhilafahan Islam di Turki berakhir dengan kemunculan Mustafa Kemal Ataturk sebagai presiden pertama Republik Turki pada tahun 1924.





[1] Mahir Ahmad Agha, Yahudi catatan Hitam Sejarah (Cet.12, Jakarta: Qisthi Press, 2010), h.11.

[2] Mahir Ahmad Agha, Yahudi catatan Hitam Sejarah, h.11-12.
[3] Abd al-Salam Harun, Tahzib Sirah Ibn Hisyam (Cet.1, Damaskus: Dar al-Fikr), h.188-189.

[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Cet.2, Jakarta: Amzah, 2010), h.70.

[5] Imaduddin Khalil, Dirasah fi al-Sirah (Cet.1, Mosul: Maktabah al-Haditsah, 1983), h.321.

[6] Sa’ad Karim al-Fiqi, Pengkhianat-pengkhianat dalam sejarah Islam (Cet.1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h.10-11.

[7] Mahir Ahmad Agha, Yahudi catatan Hitam Sejarah, h.121.

[8] Mahir Ahmad Agha, Yahudi catatan Hitam Sejarah, h.123.

[9] Mahir Ahmad Agha, Yahudi catatan Hitam Sejarah

Abdurrahman Al-Nashir, Khalifah Dinasti Umawiyah di Andalusia

Reruntuhan Kota al-Zahra, Peninggalan Dinasti Umayyah di Spanyol
Biografi Abdurrahman al-Nasir

Abdurrahman al-Nasir adalah Abdurrahman ibn Muhammad bin Abdullah al-Marwani. Ia bergelar al-Nasir li dinillah. Kuniyahnya adalah Abu al-Muttharrif. Lahir di Cordoba pada tahun 890 M/ 227 H. Ibunya bernama Maria yang merupakan seorang hamba sahaya. Abdurrahman al-Nasir adalah keturunan keenam dari Abdurrahman ibn Muawiyah al-Umawy, pendiri Daulah Umawiyah di Spanyol.

Sebagaimana yang dialami oleh kakek buyutnya, Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman ibn Muhammad juga tumbuh besar dalam keadaan yatim. Ketika berusia 20 hari ayahnya meninggal secara misterius.[1] Sumber lain mengatakan bahwa ayahnya dibunuh oleh pamannya bernama Muttarif.[2]

Setelah kematian ayahnya, Abdurrahman diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya, Abdullah. Kisah hidupnya ini hampir mirip dengan kisah hidup Nabi Muhammad saw. yang diasuh oleh kakeknya, Abdul Muttalib setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Abdullah mendidik cucunya penuh perhatian dan kasih sayang. Didikan kakeknya yang merupakan amir daulah Umawiyah di Spanyol menjadikan Abdurrahman ibn Muhammad seorang pemuda yang tangguh dan berbakat.

Kakeknya mendidiknya sehingga ia memiliki ilmu yang luas, memiliki kemampuan kepemimpinan, kecintaan pada jihad dan kemampuan administrasi. Abdurrahman juga dididik untuk selalu bertakwa, bersabar, bersikap adil dan selalu membela orang yang terzalimi. Al-Muqri menyebutkan bahwa Abdurrahman terkenal karena kelemahlembutannya, kemurahan hatinya dan cintanya pada keadilan.[3] Abdurrahman al-Nasir juga sangat memuliakan para ulama, dan menempatkan mereka di atas kedudukannya sendiri. Ia mendengarkan fatwa-fatwa para ulama, tunduk kepada arahan-arahan mereka dan juga berupaya keras untuk menerapkan nilai-nilai syariah.

Meski sangat muda, Abdurrahman al-Nasir telah menampakkan keunggulannya dalam ilmu dan wawasan yang melebihi usianya. Ia adalah pendukung seni, mencintai ilmu pengtahuan, dan suka berkomunikasi dengan para sarjana dan intelektual.[4] Ia mempelajari al-Qur’an dan al-Sunnah saat ia masih kanak-kanak. Ia unggul dalam ilmu Nahwu, syair dan sejarah. Secara khusus, ia sangat mahir dalam seni pertempuran dan keprajuritan, hingga kakeknya mempercayakannya untuk beberapa misi penting dan menugaskannya untuk duduk mendampinginya dalam beberapa kesempatan. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya memang telah mencalonkan Abdurrahman ibn Muhammad sebagai pewaris tahta, karena ia telah menyerahkan cincin kekuasaan kepadanya saat sakit menjelang kematiannya sebagai pertanda bahwa ia menyerahkan kekuasaan kepada cucunya tersebut.[5]

Menjadi Khalifah

Abdurrahman al-Nasir memegang jabatan kepemimpinan setelah kematian kakeknya, Abdullah, pada usia yang masih sangat muda, yakni 21 tahun. Ia dinobatkan sebagai penguasa Spanyol tanpa menimbulkan kontra.[6]

Masa-masa sebelum Abdurrahman al-Nashir berkuasa merupakan masa-masa kelemahan dinasti Umawiyah di Spanyol. Masa kelemahan tersebut dimulai setelah Abdurrahman II wafat. Setelah kematian abdurrahman II, putranya, Muhammad bin Abdurrahman II menduduki puncak kepemimpinan kemudian oleh kedua anaknya yaitu al-Mundzir dan Abdullah. Dampak dari kelemahan inilah yang mengakibatkan banyak pemberontakan di dalam negeri Andalusia. Banyak provinsi yang melepaskan diri, salah satunya yang paling populer adalah pemberontakan oleh Umar bin Hafshun yang membuat kawasan selatan memisahkan diri dan membentuk sebuah pemerintahan yang menyerupai negara.[7]

Selain pemberontakan, dampak lainnya adalah terbentuknya kerajaan Kristen baru di Utara yaitu kerajaan Navarre yang sebelumnya hanya terdapat dua kerajaan Kristen yaitu kerajaan Leon di Barat Laut dan Aragon di Timur Laut. Kerajaan-kerjaan inilah yang menyerang wilayah utara Andalusia.

Selain kedua dampak tersebut, yang tidak kalah berat adalah terbunuhnya sang pewaris tahta Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman oleh saudaranya al-Mutharif bin Abdullah. Di sisi lain, di wilayah Maghrib (Afrika Utara) muncul pemerintahan baru yaitu Daulah Fathimiyah atau Daulah Ubaidiyyah pada tahun 909 M[8] yang menjadi ancaman besar bagi Daulah Bani Umayyah di Andalusia.

Ketika menerima tampuk kekuasaan, Abdurrahman al-Nasir segera melakukan perubahan kabinet yang ada dalam pemerintahan. Ia memecat orang-orang yang dipandangnya tidak layak untuk menduduki posisi tertentu dan menggantikannya dengan orang yang menurutnya memiliki kapabilitas, kemampuan, dan skill administratif.

Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan al-Muqtadir billah tewas terbunuh oleh Mu’nis al-Muzhaffar al-Turki.[9] Sementara itu orang-orang Fathimiyah telah memproklamirkan kekhilafahannya dan menyebut diri mereka sebagai “Amir al-Mukminin”. Namun, Al-Nasir melihat bahwa dirinya, setelah berhasil menyatukan Andalusia dan memiliki kekuatan yang besar lebih berhak dengan nama dan urusan tersebut dibanding mereka. Maka pada tahun 929 M, ia pun menyebut dirinya sebagai Amir al-Mukminin dan menamakan kekuasaannya itu sebagai Khilafah Umawiyah. Abdurrahman al-Nasir menjadi orang pertama yang menyandang gelar Amir al-Mukminin di Andalus.[10] Dengan demikian terdapat tiga khalifah Islam di dunia yaitu khilafah Abbasiyah di Timur, khilafah Fatimiyah di Maghrib dan khilafah Umawiyah di Andalus.[11]

Usaha-usahanya

Mengatasi Pemberontakan Internal di Spanyol

Pada dua puluh tahun pertama kekuasaannya, Khalifah Abdurrahman al-Nasir harus mengatasi berbagai ancaman atas kesatuan wilayahnya.[12] Pelan tapi pasti, Abdurrahman merebut kembali provinsi-provinsi yang hilang satu demi satu. Dengan kekuatannya, yang ia perlihatkan selama periode kekuasaannya yang panjang, sekitar setengah abad (912-961 M), ia memperluas wilayah taklukkannya ke berbagai penjuru.

Musuh internal bagi Daulah Umawiyah di Spanyol adalah dari kalangan umat islam sendiri. Setelah selesai dengan persoalan dalam negerinya di Cordoba, Abdurrahman al-Nasir mengirim sebuah misi yang dipimpin oleh Abbas bin Abdul Aziz al-Qurasyi ke benteng Rabah yang dikuasai oleh seorang Barbar bernama al-Fath ibn Musa ibn Zunnun yang didukung oleh seorang sekutunya bernama Orthblash. Dalam pertempuran itu, al-Fath berhasil dikalahkan dan Orthblash terbunuh. Kepalanya lalu dikirm ke Cordoba untuk digantungkan oleh al-Nasir di pintu gerbang kota untuk menakut-nakuti para pemberontak. Benteng Rabah dan sekitarnya pun bersih dari semua pemberontakan. Peristiwa ini terjadi pada Rabi al-Akhir tahun 300 H atau satu bulan setelah ia menduduki kursi kekuasaan.

Musuh internal terbesar bagi Abdurrahman al-Nasir adalah Umar ibn Hafshun. Selain karena mendapat bantuan dari kerajaan-kerajaan Kristen di utara, Ibn Hafshun juga mendapat bantuan dari selatan, yaitu dari pihak Daulah Fatimiyah. Bantuan-bantuan lain juga dari Sevilla yang dikuasai oleh seorang penguasa Muslim dari Bani Hajjaj yang memiliki pasukan yang besar.

Ibn Hafsun melakukan pemberontakan dan makar terhadap negara selama empat puluh tahun, dimulai tahun 879 M hingga tahun 917 M. Pemerintah daulah Umawiyah telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk memeranginya secara terus menerus dan peperangan tersebut menyibukkan negara yang juga berkonsentrasi secara penuh menghadapi orang-orang Kristen Spanyol.[13]

Pada tahun 913 M Abdurrahman berhasil merebut kota Jaen yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Umar ibn Hafshun. Ia juga berhasil merebut kembali lebih dari 70 benteng yang merupakan persembunyian utama para pemberontak. Misi tersebut menyebabkan pasukan Ibnu Hafshun mengalami kekalahan telak. Lalu pada tahun 914 M Abdurrahman al-Nasir  kembali melakukan penyerangan kepada Umar bin Hafshun dan berhasil memutus bantuan dari pihak barat yang masuk melalui Sevilla. Ia berhasil merebut pegunungan Ronda, Syadzunah, dan Carmona yang semuanya merupakan kota-kota di bagian barat.

Abdurrahman al-Nasir semakin jauh masuk ke bagian selatan, hingga mencapai Selat Gibraltar dan berhasil menguasainya. Dengan bgitu, ia berhasil memutuskan semua bala bantuan yang datang untuk Ibn Hafshun dari pihak Daulah Fatimiyah yang masuk dari jalur Selat Gibraltar. Ia juga memutuskan jalur bantuan yang biasa datang dari negara-negara Kristen di utara melalui Laut Atlantik, kemudian masuk melalui Selat Gibralar dan Laut Tengah. Saat itu, ia beberapa kali menemukan kapal laut milik Ibn Hafshun yang sedang membawa bantuan dari negeri Maghrib lalu membakarnya. Dengan demikian, Abdurrahman al-Nasir telah berhasil memutuskan semua jalur yang selama ini membawa bala bantuan kepada Umar bin Hafshun. Akhirnya Umar bin Hafshun tidak punya pilihan lain selain meminta berdamai dan melakukan perjanjian dengan Abdurrahman al-Nasir, yaitu dengan menyerahkan 162 benteng pertahanannya. .

Menjelang akhir hayatnya, Umar ibn Hafshun kembali lagi ke agama Kristen bersama putrinya bernama Argentia. Pengkhianat ini pun meninggal di Benteng Pishter dan dikebumikan di gereja yang terletak di dalamnya pada tahun 305 H/ 917 M.[14]

Setelah Umar bin Hafshun meninggal, wilayah kekuasannya diperebutkan oleh anak-anaknya. Hal ini menyebabkan mereka terpecah belah. Ada di antara mereka yang berpihak kepada Abdurrahman al-Nasir sehingga sejumlah peperangan berikutnya mmbuatnya lebih mudah untuk menguasai semua wilayah pertahanan Ibn Hafshun dan membersihkannya pada tahun 316 H.[15]

Melawan Daulah Fathimiyah

Di masa kekuasaan Abdurrahman al-Nasir banyak musuh dari pihak internal maupun eksternal yang mengancam kekuasaannya. Musuh yang paling berbahaya adalah Dinasti Fatimiyah di selatan dan raja-raja Leon Kristen di utara.[16]

Pendiri pemerintahan Fathimiyah yang juga dikenal dengan Dinasti Ubaidiyyah adalah Ubaidillah ibn Muhammad al-Mahdi. Nama Ubaidiyyah dinisbatkan kepadanya. Ayahnya telah berhasil menyebarkan dakwah Fathimiyah di negeri Yaman, kemudian Yamamah, Bahrain, Sind, Mesir, dan Maghrib. Ubaidillah melanjutkan gerak langkah dan jejak ayahnya dan meluaskan pengaruhnya.[17]

Al-Mahdi berkuasa di saat pemerintahan Umawiyah di Andalusia sedang sibuk untuk menghadapi berbagai pemberontakan yang saat itu menghantam Andalusia dari dalam. Selain itu Andalusia juga disibukkan untuk menahan serangan pasukan Kristen dari utara.

Dalam menghadapi Daulah Fatimiyah, Abdurrahman al-Nasir mendirikan front baru di Maghrib. Tahun 319 H, Abd al-Rahman mengirim sebuah pasukan dengan menggunakan kapal ke Ceuta dan berhasil merebutnya dari tangan para penguasanya yaitu Bani Isham yang merupakan sekutu dari orang-orang Fatimiyyun.[18] Ceuta adalah kota penting di Afrika Utara karena ia menjadi kunci untuk masuk ke Spanyol. Pasukan Islam pertama kali menaklukkan Andalusia melalui pelabuhan Ceuta.

Setelah berhasil merebut Ceuta, Abdurrahman al-Nasir melanjutkan penaklukkan ke kota Tangier yang dikuasai oleh Al-Hasan bin Abi al-‘Aisy bin Idris al-Alawy. Dengan mengirim armada lautnya dari Andalusia, pasukan Abd al-Rahman berhasil mengepungnya hingga ia terpaksa menyerahkan diri.

Strategi untuk memilih menyerang langsung Daulah Fatimiyah di Afrika Utara yang merupakan markas Daulah Fatimiyah adalah strategi yang brilian. Ini dilakukan sebelum orang-orang Fatimiyun dapat masuk ke Spanyol. Di saat yang sama memang Daulah Fatimiyah juga sedang memperkuat pilar-pilar kekuatannya di wilayah Magrib karena mereka tidak dapat memasuki Spanyol kecuali melalui Magrib.

Pihak Fatimiyyun tidak tinggal diam. Khalifah al-Mu’iz li dinillah mengirim serangan balasan kepada Abdurrahman al-Nasir. Ia memrintahkan armada lautnya untuk menghantam wilayah tepian pantai Andalusia. Pada tahun 344 H kapal-kapal Fatimiyyun menyerang benteng Almeria dan membakar semua perahu dan merusak semua apa yang dapat dirusak. Melihat hal itu, Abd al-Rahman juga memerintahkan armada lautnya keluar ke tepian pantai Daulah Fatimiyah dan menggempur mereka kembali pada tahun 345. Orang-orang Fatimiyyun akhirnya sadar bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi Abdurrahman al-Nasir. Mereka tidak mengulangi kembali apa yang mereka lakukan.

Abdurrahman al-Nasir Melawan Kerajaan-kerajaan Kristen

Sebagai pembela agama, Khalifah al-Nashir merasa bahwa tugasnya yang tertinggi adalah mengobarkan perang suci melawan orang Kristen, yang tak henti-hentinya memperlihatkan rasa iri dan mengincar wilayah leluhur mereka di selatan.[19]

Pada tahun  921 M Abdurrahman meyerang pihak Kristen di Utara yang berada di bawah kerajaan Leon dan Navarre. Terjadilah pertempuran Mobesy yang berlangsung selama tiga bulan. Abdurrahman berhasil meraih kemenangan besar dan mendapat harta rampasan perang yang sangat banyak. Ia juga berhasil merebut kota Salim yang sebelumnya berada di pihak Kristen.

Setelah empat tahun dari pertempuran Mobesy, di tahun 924 M Abdurrahman memimpin sendiri sebuah pasukan besar untuk menyerang kerajaan Navarre dan dalam beberapa hari saja ia berhasil melumpuhkannya, serta memasukkan kota Banbalonah, ibu kota Navarre sebagai milik kaum Muslimin. Setelah itu, ia mulai bergerak membebaskan tempat-tempat lain yang telah dikuasai oleh pihak Kristen di masa kelemahan Daulah Umawiyah sebelumnya.

Pada tahun 928 M Abdurrahman mengirim sebuah pasukan lain ke timur Andalusia untuk meredam pemberontakan lain di sana. Akhirnya ia kembali berhasil memasukkannya dalam wilayah kekuasaannya. Di tahun yang sama ia mengirim pasukan ke barat Andalusia sehingga ia mampu mengalahkan Abdurrahman al-Jilliqy. Dengan begitu, ia berhasil memasukkan wilayah barat Andalusia ke dalam kekuasaannya kembali.
Dengan demikian, Setelah 16 tahun Abdurrahman berhasil menyatukan seluruh Andalusia di bawah satu panji. Ia menyatukan semuanya pada saat usianya belum melewati 38 tahun.[20]

Memajukan Perekonomian

Abdurrahman al-Nasir sangat memperhatikan perekonomian di Andalusia. Di masanya, masyarakat hidup dalam kemakmuran dan anggaran keuangan negara mencapai enam juta dinar emas. Khalifah membaginya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk tentara, sepertiga untuk pembangunan, gaji dan yang lainnya, sepertiga yang terakhir untuk simpanan masa-masa yang sulit.

Pertanian juga mengalami pertumbuhan yang pesat. Berbagai macam tananman dan buah-buahan seperti tebu, zaitun, dan kapas terdapat di Spanyol. Khalifah juga menyiapkan kebun-kebun khusus untuk menternakkan ulat sutra. Mengatur saluran-saluran pembuangan dan cara pnyaluran air, menetapkan pengaturan waktu untuk menanam di setiap musim.

Di antara yang menjadi perhatian pentingnya juga adalah mengeksplorasi emas, perak, dan besi. Demikian pula dengan kerajinan kulit, pembuatan perahu, alat-alat pertanian, dan industri farmasi. Ia juga mendirikan banyak pasar yang terbagi sesuai barang yang dijual seperti pasar khusus untuk tukang besi, daging, dan pasar yang khusus menjual aneka macam bunga.

Sisi keamanan

Institusi kepolisian termasuk posisi administratif paling penting yang berkaitan dengan pengaturan keamanan. Institusi ini sebelum masa al-Nasir terbagi menjadi dua tingkatan yaitu kepolisian tinggi dan kepolisian rendah. Namun sejak tahun 317 H di masa al-Nasir, institusi ini berdasarkan urgensinya dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepolisian tinggi, kepolisian tengah, dan kepolisian rendah. Begitu juga dengan institusi peradilan dibagi menjadi dua bagian pada tahun 325 H. Sebelum masa al-Nasir institusi ini hanya berdiri sendiri menangani pengaduan dan kezaliman, namun di masa al-Nasir masing-masing bagian itu dibuat berdiri sendiri.

Membangun Kota Al-Zahra

Hal penting yang membedakan sisi pembangunan fisik di masa abdurrahman al-Nasir adalah kota besar yang didirikannya dan dikenal dengan nama Madinah al-Zahra (Kota al-Zahra). Kota al-Zahra dibangun dengan model arsitektur yang sangat tinggi. Untuk pembangunannya, Abdurrahman al-Nasir mendatangkan bahan-bahan dari Konstantinopel, Baghdad, Tunisia dan dari Eropa. Kota yang dibangun di atas lereng sebuah gunung ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah bagian yang terdekat dengan gunung dihuni oleh sang Khalifah. Di sana dia memiliki istana-istananya, taman peristirahatan, dan lain-lain. Di bagian kedua, berdiam para pelayan dan sida-sida rumah tangga khalifah dan para pengawal pribadinya. Terdiri dari 12.000 orang dengan pakaian terbaiknya menyandang pedang serta mengenakan sabuk gemerlap berhiaskan emas. Satu datasemen orang-orang ini senantiasa mengantarkan Khalifah kemanapun ia berjalan dan menjadi penjaga di istananya. Bagian ketiga terletak di kebun dan ruang santai. Di sana terdapat istana tempat Abd al-Rahman memutuskan cara pandang kekuasaannya.

Seluruh bagian istana dicukupi air melimpah yang dialirkan dari gunung-gunung di sekitarnya. Bangunan dalam al-Zahra yang paling terkenal adalah pavilium yang langsung menghadap ke kebun. Bangunan-bangunan ini disokong oleh tiang dengan lapisan marmer ditempeli emas dan bertahtakan batu delima serta permata. Di depan pavilium terdapat tangki besar berisi zabig atau air raksa yang selalu bergerak terus-menerus dan memantulkan sinar matahari sampai ke pavilium.[21]

Di kota al-Zahra, Abdurrahman al-Nasir mendirikan istana al-Zahra; istana yang belum dibangun serupa itu pada masanya. Ia benar-benar mengerahkan upayanya dalam membangunnya hingga menjadi salah satu mukjizat di zamannya. Banyak orang yang datang dari Eropa dan seluruh negeri Islam untuk menyaksikan kemegahannya.

Istana al-Zahra terletak 7 km dari Cordova di atas tepi sungai Guadalquivir. Pembangunan istana ini menghabiskan waktu 40 tahun, dan diselesaikan oleh putranya, al-Hakam. Berdasarkan kesaksian para sejarawan yang bertandang ke istana ini, istana al-Zahra merupakan salah satu keajaiban dunia.[22]






[1]Lihat Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah, terj. M.Taufik & Ali Nurdin, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 384.
[2]Rinhart Dozy, Spanish Islam A History of Moslems in Spain (London: Fank Cass, 1972), h. 382. Ibn Khalidun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 175. Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, terj. Muhammad Ihsan & Abd al-Rasyad Shiddiq, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia Jejak Kejayaan Peradaban Islam di Spanyol, (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 214.
[3] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe 570-1215 terj. Yuliani Liputa, The Greatness of al-Andalus Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat, (Cet.III; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 463.
[4] David Levering Lewis, God Crucible: Islam and The Making of Europe 570-1215, h. 463.
[5] Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, h. 215-216.
[6]Lihat Tim Riset dan Studi Islam Mesir, h. 384.
[7]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, h. 207.
[8]Raghib al-Sirjani, Qishah al-Andalus min al-Fath ila al-Suquth, h. 209.
[9]Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: t.p, 1958), h. 248. Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, h. 176. Ahmad Thomson, Islam in Andalus, h. 66.
[11]Hasan Ibrahim Hasan, Al-Daulah al-Fatimiyah fi Al-Magrib, wa Mishr, wa Suriyah wa Bilad al-Arab (Cet.II; Mesir: tp, 1958), h. 248-249.
[12]W. Montgomery Watt, The Influence on Medieval Europe, terj. Hendro Prasetyo, Islam dan Peradaban Dunia Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan (Cet.III; Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4
[13]Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami, terj. Muhyiddin Mas Rida, Pengkhianat-Pengkhianat dalam Sejarah Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 164.
[14] Sa’ad Karim al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat al-Tarikh al-Islami, h. 164.
[15] Raghib al-Sirjani, h. 227.
[16]Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Cet.I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 662.
[17] Ahmad al-Usairy, al-Tarikh al-Islamiy, terj. Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Cet.VI; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 269.
[18]Lihat Raghib al-Sirjani, h. 235.
[19]Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 666.
[20]Raghib al-Sirjani, h. 228.
[21] Ahmad Thomson, Muhammad Ata’ al-Rahim, Islam In Andalus, terj. Kampung Kreasi, Islam Andalusia, Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, Cet.I; Ciputat: Penerbit Gaya Media Pratama, 2004), h. 68-69.
[22] Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausuah al-Muyassarah h. 387.