04.16 -
Biografi Tokoh
No comments
Ulama Nasional Penulis Ratusan Buku
Buya Hamka |
Jasadnya memang sudah lama tiada, tapi
karya-karyanya yang masih tetap hidup dan dibaca oleh jutaan ummat Islam pada
hari ini. Dia adalah ulama kharismatik Haji Abdul malik Karim Amrullah.
Tokoh kelahiran Maninjau, Sumatera Barat 17
Februari 1908 ini dikenal dengan nama Hamka. Singkatan dari Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. Ayahnya, Syaikh Dr. Abdul Karim Amrullah seorang ulama besar di
Minangkabau, pendiri Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di madrasah
itulah Hamka belajar agama dan bahasa Arab.
Setelah melewati masa kecil belajar di
Sumatera Thawalib, pada tahun 1924 Hamka merantau ke Pulau Jawa, tepatnya di
Yogyakarta. Di sana, ia belajar dari tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI) seperti HOS
Cokroaminoto, Haji Fachruddin, RM Soeryopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Baru setahun di Jawa, Hamka diminta pulang
oleh sang ayah untuk membantunya mengembangkan “Muhammadiyah” di Padang
Panjang. Hamka akhirnya kembali ke tanah kelahirannya di usia 17 tahun. Ketika
pulang, ia banyak dipuji oleh orang-orang di kampungnya. Hamka disebut-sebut
sebagai penerus Dr. Abdul Karim Amrullah sebagai ulama besar di Minangkabau.
Ketika sekolah Muhammadiyah dibuka di Padang
Panjang, Hamka melamar menjadi guru. Tetapi ia ditolak karena tidak memiliki
ijazah diploma. Merasa kecewa, Hamka pun berniat menimba ilmu ke Makkah. ia
berusaha sendiri agar bisa ke sana. bagi Hamka, Makkah adalah tempat yang tepat
untuk menimba ilmu agama lebih dalam. Ia hanya menyampaikan niatnya itu kepada
kakeknya. Adapun ayahnya tidak mengetahui.
Dengan bekal seadanya, Hamka berhasil ke
Makkah menaiki kapal laut miliki Belanda. Di Makkah dia bermukim di rumah
Syaikh Amin Idris. Selama di Makkah, Hamka berusaha memperlancar bahasa Arabnya
walaupun dengan sesama orang Indonesia yang bermukim di sana. Hidupnya di sana
tidak mulus, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Hamka bekerja sebagai pegawai di
sebuah percetakan. Di sela-sela pekerjaannya dari pagi sampai sore, ia
memanfaatkan waktu istrahatnya dengan membaca berbagai macam buku yang tedapat
di gudang percetakan itu.
Hamka ingin tinggal lebih lama di Makkah untuk
menimba ilmu lebih banyak lagi. Namun, sekitar tujuh bulan di sana, ia bertemu
dengan Haji Agus Salim. Orang yang dihormati Hamka itu menyuruhnya untuk pulang
ke Tanah Air. Atas nasihat Haji Agus Salim, Hamka pun kembali ke Nusantara
setelah melakukan ibadah haji. Dengan begitu, di usianya yang masih 18 tahun,
Hamka telah memiliki gelar Haji di depan namanya. Haji Malik.
Setelah
pulang ke Padang Panjang, Dr Abdul Karim Amrullah sangat terharu melihat
kedatangan putranya yang telah “menghilang” tujuh bulan lamanya. Ia merasa
bangga melihat putranya itu yang akan menjadi penerusnya sebagai ulama dan
sastrawan. Apalagi telah membawa pulang “titel” haji.
Menulis
di Surat Kabar
Pada kurun tahun 1930-an, Hamka ke Medan, di
sana ia dipercaya mengisi rubrik Tasawuf Modern majalah Pedoman Masyarakat yang
terbit setiap pekan. Tulisannya dapat memikat para pembaca baik yang awam
maupun kalangan terpelajar. Hal itu juga yang menjadi media penghubung dirinya
dengan para tokoh intelektual lainnya seperti M.Natsir, Muhammad Isa Anshari,
dan Hatta.
Meskipun tidak memiliki ijazah formal, Hamka
tidak menyerah. Ia adalah seorang autodidak. Banyak bidang ilmu yang
dikuasainya, seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Dia
juga mahir berbahasa Arab yang dengan itu dia dapat meneliti berbagai
karya-karya besar para intelektual Islam di Timur dan Barat.
Hamka juga seorang aktivis dakwah. Dia aktif
di Muhammadiyah untuk waktu yang sangat lama dan dengan berbagai jabatan yang
telah diembannya. Pada tahun 1977, Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, dia adalah Ketua MUI pertama padahal
dia tidak memiliki ijazah dan pendidikan formal. Tapi ilmunya cukup membuat
orang-orang yakin mengangkatnya sebagai ketua.
Penulis
Produktif
Sampai hari ini orang-orang seperti merasakan
Hamka masih hidup. Hal itu karena karya-karyanya yang bertebaran dan masih
dapat kita nikmati sampai hari ini. di antara karyanya adalah Falsafah Hidup,
Mengembara di Lembah Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di
Bawah Lindungan Ka’bah, dan masih banyak lagi.
Novelnya berjudul Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck bahkan diangkat ke layar lebar. Sedangkan yang paling populer adalah
karyanya dalam bidang tafsir yang kita kenal dengan Tafsir Al-Azhar 30 Juz.
Tafsir Al-Azhar ditulisnya ketika mendekam di penjara pada masa Orde Lama
sekitar dua tahun lamanya.