04.10 -
Sejarah Islam
No comments
Abdurrahman I (Ad-Dakhil) dan Berdirinya Keemiran Bani Umayyah di Andalusia
Pada
tahun 132 H/ 750 M, orang-orang Bani ‘Abbas melakukan penyerangan terhadap
Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus. Bani Abbas yang dipimpin oleh Abū
al-‘Abbās al-Saffāh membantai orang-orang Umawiyyun dan berhasil membunuh
khalifah terakhir Bani Umayyah, Marwān ibn Muhammad ibn Marwān. Dengan dendam
yang telah lama tersimpan dan telah mendarah daging terhadap Bani Umayyah,
orang-orang ‘Abbas membunuh semua keturunan laki-laki Bani Umayyah agar tidak
ada lagi dari kalangan mereka yang dapat menjadi khalifah di kemudian hari.
Pihak
‘Abbasiyyun membunuh semua orang yang dianggap layak menjadi khalifah dari
kalangan Umawiyyun kecuali sedikit saja yang tidak terjangkau oleh
pedang-pedang mereka. Di antara yang berhasil lolos dari pembunuhan tersebut
adalah ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu‘āwiyah, cucu dari Hisyam ibn ‘Abd al-Malik yang berkuasa
pada tahun 723 hingga tahun 743 M.
‘Abd
al-Rahmān berhasil melarikan diri menuju wilayah Magrib karena ibunya adalah
seorang wanita yang berasal dari suku Barbar. Ia bermaksud menemui keluarga
ibunya di sana. Dari Syam, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah menujuk ke Mesir, lalu
sampai ke Burqah (Libya) dan bersembunyi di sana selama lima tahun setelah itu
barulah ia keluar menuju Qairuwan. Pada masa itu Qairuwan dipimpin oleh ‘Abd
al-Rahmān ibn Ḥabīb al-Fiḥrī. Afrika Utara termasuk Qairuwan berdiri sendiri
dan tidak termasuk bagian dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Sebagai
penguasa Magrib, ‘Abd al-Rahmān ibn Habīb al-Fihrī merasa terancam dengan kehadiran
‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah dan semakin banyaknya pelarian orang-orang
Umawiyyun ke negerinya. Ia takut akan terbentuknya sebuah kekuatan Umawiyyah di
sana sehingga ia mengusir orang-orang Bani Umayyah, membunuh dua orang putra
al-Walīd ibn Yazīd, mengawini paksa saudari ‘Ismaīl ibn ‘Abad ibn ‘Abd al-‘Azīz
ibn Marwān, mengambil hartanya dan berupaya keras mencari ‘Abd al-Raḥmān ibn
Mu’āwiyah.[1]
Karena
merasa tidak aman, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah keluar dari Qairuwan menuju
Tadila. Kemudian dari Tadila ia berangkat menuju Mudarib, kabilah Nafzah di
wilayah terujung Magrib. Kabilah ini adalah kerabatnya dari pihak ibu, karena
ibu ‘Abd al-Raḥmān adalah seorang budak perempuan dari kabilah Nafzah.[2]
Tetapi situasi di daerah ini juga tidak aman karena keberadaan kelompok
Khawarij yang sangat membenci kalangan Bani Umayyah. Orang-orang Khawarij
bersumpah untuk menghunuskan pedang pada ‘Abd al-Raḥmān.[3]
Jadi, tidak ada pilihan lain baginya selain berangkat ke Andalusia.
Pada
tahun 753 M (136 H), ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah mulai menyiapkan perbekalan
untuk memasuki Andalusia. Ia melakukan beberapa persiapan sebelum memasuki kota
yang pernah ditaklukkan oleh Ṭāriq ibn Ziyād itu. Pertama, ‘Abd al-Raḥmān mengutus
budaknya, Badr, ke Andalusia untuk mempelajari situasi dan mengetahui kekuatan-kekuatan
yang mempengaruhi kekuasaan di sana. Saat itu, Andalusia menjadi ajang perebutan
antara orang-orang Yaman yang dipimpin oleh al-Ṣabah al-Yahsubī, dan
orang-orang Qais yang dipimpin oleh Abū Jausyan al-Ṣumail ibn Hatim. Mereka
inilah yang menjadi andalan pemerintahan yang dipimpin oleh gubernur ‘Abd
al-Rahmān ibn Yūsuf al-Fihrī. Kedua, ‘Abd al-Raḥmān mengirim surat kepada pendukung
Daulah Umawiyah di Andalusia. Di Andalusia, Bani Umayyah memiliki banyak sekali
pendukung dan pengagum, bahkan dari kabilah-kabilah lain di luar Bani Umayyah.
Bani Umayyah terkenal dengan kedermawanan, kebijakan politis dan kebijaksanaan
mereka serta keberhasilan mereka mendapatkan kepercayaan masyarakat, intraksi mereka
yang baik terhadap rakyat, upaya-puaya jihad, penyebaran agama, dan penaklukkan
berbagai negeri. Ketiga, ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah mengirim surat kepada semua
orang Umawiyyun di Andalusia dan memaparkan idenya kepada mereka bahwa ia bermaksud
memasuki Andalusia serta meminta dukungan dan bantuan mereka.[4]
Setelah
Badr sukses menjalankan misinya di Andalusia, ia segera memberi informasi kepada
tuannya untuk memasuki Andalusia. Situasi dan kondisi di sana telah siap untuk
menyambut kedatangan ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah. Tanpa menunggu lama, ‘Abd
al-Raḥmān mempersiapkan bekal dan kapal menuju Andalusia.
Akhirnya,
pada tahun 136 H, ‘Abd al-Raḥmān tiba di tepi pantai Andalusia seorang diri
disambut oleh budaknya, Badr. Begitu ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’āwiyah memasuki
Andalusia, mulailah ia mengumpulkan para pendukungnya, para pecinta Daulah
Umawiyah, kabilah Barbar dan beberapa kabilah yang menentang gubernur
Andalusia, Yūsuf ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Fihrī. ‘Abd al-Raḥmān juga mendapat
dukungan dari orang-orang Yaman yang dipimpin oleh Abū al-Ṣabah al-Yashubī.
‘Abd
al-Raḥmān mengirim surat kepada Yūsuf al-Fihrī meminta kesediaannya secara
baik-baik untuk menyerahkan kepemimpinan dan al-Fihrī
akan diangkatnya sebagai salah seorang pejabat pentingnya di Andalusia. Tetapi
Yūsuf al-Fihrī menolak hal tersebut sehingga ‘Abd al-Rahmān ibn Mu’āwiyah menyiapkan
pasukan untuk memeranginya. Maka pada tahun 756 M (138 H) terjadi pertempuran
antara ‘Abd al-Raḥmān ibn Mu’awiyah dengan Yūsuf bin ‘Abd al-Raḥmān al-Fihrī
di tepi Sungai Guadalquivir.[5]
Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran al-Muṣarah yang dimenangkan oleh ‘Abd
al-Raḥmān ibn Mu‘āwiyah. Sementara itu Yūsuf al-Fihrī
melarikan diri.
Setelah
meraih kemenangan dalam pertempuran al-Muṣārah, ‘Abd al-Raḥmān memasuki Cordova,
dan dia diberi gelar “al-Dākhil”, yang berarti “masuk” karena dialah orang pertama
dari kalangan Bani Umayyah yang masuk ke Andalusia sebagai pemimpin.[6]
Sejak itu babak baru Daulah Umawiyah di Spanyol. Fase ini dikenal sebagai
periode Keamiran yang dimulai sejak tahun 756 M (138 H) dan berakhir 928 M (316
H). Disebut “Keamiran” karena
saat itu Andalusia telah terpisah dari kekhilafahan Islam, baik yang ada di
masa kekhilafahan Abbasiyah ataupun yang ada sesudahnya hingga akhir masa
Andalusia.[7]
Fase
keamiran dimulai sejak naiknya ‘Abd al-Raḥmān al-Dākhil sebagai amīr pertama pada
tahun 756 (138 H). Tepatnya enam tahun setelah kejatuhan Dinasti Umayyah di Timur.[8]
Pada fase ini terdapat tujuh amīr
yaitu:
1.
‘Abd al-Raḥmān
ibn Mu‘āwiyah al-Dākhil (756-788)
2.
Hisyām ibn ‘Abd
al-Raḥmān (788-796)
3.
Ḥakam ibn
Hisyām (796-822)
4.
‘Abd al-Raḥmān ibn
al-Ḥakam al-Ausat (822-852)
5.
Muḥammad ibn
‘Abd al-Raḥmān (852-886)
6.
Munżir
(886-888)
7.
‘Abd Allāh
(888-912).
[1]
Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus min
al-Fath ilā al-Suquṭ (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 159.
[2]
Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus min
al-Fath ilā al-Suquṭ, h. 160.
[3]
Tamim Ansary, Destiny Disrupted: A History of The World Trough Islamic Eyes,
terj. Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad (Cet.I; Jakarta: Zaman, 2012),
h. 201-202.
[4]
Lihat Ragib al-Sirjanī, Qiṣṣah al-Andalus
min al-Fath ilā al-Suquṭ, h. 161-162
[5]
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:
Serambi, 2013), h. 644.
[6]
Lihat Ibn Khaldūn, Tārikh Ibn Khaldūn juz 4, h. 156.
[7]
Ragib al-Sirjānī, Qisṣah al-Andalus min
al-Fath ila al-Suqūṭ, h. 169.
[8]
‘Abd al-Syafī Muhammad ‘Abd al-Latīf, Al-Alam
al-Islamī fī al-Asri al-Umawī (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2014), h. 392
0 komentar:
Posting Komentar