Kamis, 18 Februari 2016

Sejarah Perkembangan Orientalis

Islam telah menjadi objek studi orientalis sejak berabad-abad yang lalu. Perhatian bangsa Barat untuk mempelajari Islam bermula sejak masa Perang Salib. Orang-orang Barat mempelajari Islam karena mereka memandang Islam sebagai salah satu kekuatan dan sumber peradaban dunia.

Orang Barat yang mempelajari Islam disebut orientalis. Istilah orientalis telah muncul sejak abad ke-17 ketika sarjana-sarjana Barat mulai mengkaji Islam dan dunia Timur umumnya secara ilmiah. Abdullah Laroui mendefinisikan orientalis adalah orang Barat yang menjadikan Islam sebagai fokus penyelidikannya.

Menurut William Montgomery Watt, orientalisme adalah suatu cara dan kebiasaan yang dilakukan oleh sarjana Barat untuk memberi karakteristik terhadap dunia Timur, mencakup studi tentang budaya, bahasa, sastra agama, dan berbagai hal mengenai ketimuran.
Studi bangsa Barat terhadap Islam di abad ke-19 digalakkan karena beberapa motif:
  1. Motif kolonialisme, yaitu ingin memperkokoh kedudukan kolonialisme agar umat Islam merasa minder dan bangsa Barat tetap melestarikan dominasinya di dunia Timur Islam.
  2. Motif Misionaris, yakni membetuk image bahwa Islam adalah agama ciplakan dari yahudi dan Kristen.
  3. Motif ilmiah, yakni dorongan mereka mempelajari Islam semata karena dorongan ilmiah. Namun motif ini tidak bisa menghasilkan konklusi yang positif karena tradisi ilmiah barat yang empiric positivistic diterapkan dalam mengkaji Islam, sementara ada hal-hal yang supra empiric.
Masa Perang Salib merupakan era dimana orang Barat mulai berusaha mengenal Islam lebih jauh. Menurut Southern, sesudah tahun 1120 M, gambaran tentang Islam dan Muhammad mulai tersebar luas di Eropa. Meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sudah ada mahasiswa Eropa yang belajar di Andalusia tetapi nama Islam dan Muhammad belum tersebar luas. Sebelum tahun itu, nama Mohamet (Muhammad) baru satu kali disebut dalam literatur di luar Spanyol dan Italia Selatan.

Kekalahan dalam Perang Salib dan jatuhnya Konstantinopel merupakan pengalaman pahit Kristen Eropa sehingga raja-raja Eropa bersumpah untuk mengusir orang ‘kafir’. Disinilah muncul semangat orang-orang Eropa untuk mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Sebagai bias dari kebencian ini, pengarang-pengarang Eropa mulai menulis buku-buku dengan gambaran yang salah bercampur kebencian terhadap Islam. Sumber lain menyebutkan bahwa kajian tentang Timur digalakkan dalam rangka membantu gerakan kolonialisme di satu sisi, dan sisi lain untuk pelecehan terhadap ajaran-ajaran Islam. Pemikiran ini muncul ketika orang-orang Kristen tidak sanggup lagi melawan kaum Muslimin melalui senjata sehingga mereka berpikir. Cara baru memerangi umat Islam adalah melalui perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Ternyata cara ini sangat manjur dan pengaruh pemikiran kebarat-baratan merambah dunia Timur.

Perhatian besar pada studi Islam di Eropa pada abad ke-12 M dimulai ketika Petrus Veneralibis, kepala biara induk di Cluny (Prancis) pernah mengunjungi Toledo. Ia kemudian membentuk satu tim untuk mempelajari Islam. Satu seri dari karya tim itu adalah terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa latin yang ditugaskan pada Robert Ketton dan diselesaikan pada Juli 1143M. buku ini merupakan studi pertama orang Barat tentang al-Qur’an. Dalam buku itu dikatakan bahwa al-Qur’an bukan firman Tuhan dan Muhammad bukan nabi dan rasul tetapi penipu.

Di abad ke-13 terlihat gejala sikap simpatik orang Barat terhadap Islam. Roger Bacon (1210-1292) seorang tokoh Barat yang pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Islam Spanyol menolak sama sekali Bible sebagai sarana mengenal Nabi Muhammad dan peran Islam di dunia. Ia menolak strategi Perang Salib dan mengusulkan kepada Gereja Katolik agar mendirikan sekolah sebagai media dialog Islam dan Kristen.

Di abad ke-17 dan 18 oleh Maxisme Rodinson disebut the ages of reason dimana orang Barat cenderung melihat Islam secara obyektif. Hendry de Boulainvillers dalam bukunya mengatakan Nabi Muhammad bukan penipu. Menurut Edward Gibbon (1737-1794) Muhammad adalah seorang yang amat toleran dan ahli hukum yang bijaksana.

Pada masa ini mulai muncul tulisan-tulisan yang bersifat obyektif dan terbuka, misalnya tulisan-tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Carlyle (1896-1947). Periode ini sekalipun muncul penulis-penulis obyektif mulai memasuki masa kolonialisme. Orang Barat datang ke dunia Islam untuk berdagang dan kemudian hendak menguasai dan menundukkan Timur. Untuk tujuan ini, maka bangsa-bangsa Timur perlu diketahui secara benar dan obyektif. Dengan jalan ini hubungan lebih dekat dan mereka lebih mudah ditundukkan. Maka gambaran Islam dan Timur dalam tulisan merekapun mulai obyektif, misalnya tentang agama dan adat istiadat Indonesia muncul tulisan-tulisan Marsden, Raffles, Wiken, Keyser dan Snouck Hurgronje. Bahkan Napoleon mengadakan ekspedisi ke Mesir tahun 1798, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat istiadat, ekonomi dan pertanian Mesir. Orientalis itu antara lain, Langles (ahli bahasa Arab), Villoteau (mempelajari musik Arab) dan Marcel (mempelajari sejarah Mesir).

Setelah muncul romantisisme pada abad ke-19 timbul usaha orang Barat mempelajari bahasa dan satra Timur, terutama bahasa dan sastra Arab. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan imperialism di akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, maka sikap apologi Barat untuk mendukung imperialismenya timbul kembali. Image negatif pada masa Perang Salib dibangkitkan kembali untuk menekan Islam dan umatnya di negara terjajah. Di masa itu juga muncul beberapa tokoh sosiologi seperti Karl Marx, dan Emila Durkhein. Tokoh psikoanalisa Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, tokoh fenomenologi Edmund Husserl. Teori mereka turut mempengaruhi metode pendekatan orientalis terhadap studi tentang Nabi Muhammad.

Belakangan, kaum orientalis berusaha membantah bahwa mereka bukanlah orientalis seperti yang dikenal selama ini. Akan tetapi mereka adalah Arabists (belajar tentang Arab), Islamist (belajar tentang Islam), dan Humanists (belajar tentang ilmu-ilmu kemanusiaan), atau bahwa mereka adalah orang yang secara khusus mengkaji iklim, sosial, dan ekonomi di kawasan-kawasan dunia tertentu, termasuk dunia Timur.

Refrensi

Musthafa al-Siba’I, Akar-akar Orientalisme, diterjemahkan oleh Ahmadi Thaha, Surabaya:PT. Bina Ilmu, 1983

Ismail Jakub, Orientalisme dan Orientalis, cet.I, Surabaya: Faizan, 1983.

Mutolah Maufur, Orientalisme Serbuan Ideologis dan Intelektual, Jakarta: pustaka al-Kautsar, 1995.


Muhammad Nasir Mahmud, Orientalisme berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam, Cet,I, Makassar: Alauddin University Press, 2011.

0 komentar:

Posting Komentar