Kamis, 25 Januari 2018

Granada Benteng Terakhir Islam di Andalusia

Ummat Islam pernah berkuasa di Eropa, tepatnya di Spanyol yang dahulu dikenal dengan Andalusia. Namun, satu demi satu kota-kota yang dikuasai ummat Islam direbut kembali oleh kaum Salib. Kota yang terakhir runtuh adalah Granada.

Istana Alhamra peninggalan Bani Ahmar di Granada

Setelah Sevilla berhasil dikuasai oleh ummat Nasrani pada tahun 1248, maka tidak ada kota Islam yang tersisa kecuali Granada. Ia merupakan ibu kota wilayah tenggara Andalusia yang terletak di daerah puncak yang subur. Granada di bawah pemerintahan Bani Ahmar tetap bertahan sekitar 200 tahun setelah kota-kota lain di Andalusia dikuasai oleh kaum Nasrani.

Granada terkenal dengan istana Alhamra-nya yang indah, dibangun oleh Muhammad bin Ahmar pada tahun 1238. Sampai hari ini, istana ini masih berdiri dengan kokoh dan banyak dikunjungi wisatawan.
Kejatuhan Granada terjadi pada tahun 1492. Kerajaan Kristen bersatu, ditandai dengan pernikahan Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Kastilia pada tahun 1470. Kerajaan Kristen semakin kuat sedangkan pemerintahan Islam di Granada semakin melemah. Terlebih dengan diangkatnya Raja Granada bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Sa’ad yang bergelar Al-Ghalib Billah yang masih kecil. Ia sering juga disebut Abu Abdillah Ash-Shaghir (Si Kecil). Darinyalah keruntuhan Granada dimulai.

Ketika itu, terjadi konflik dalam internal ummat Islam. Antara satu pemimpin saling berperang dengan pemimpin lainnya. Bahkan, di antara mereka ada yang meminta bantuan kepada kerajaan Kristen untuk melawan saudaranya sesama muslim. Inilah yang mengakibatkan Islam mudah dikuasai musuh.

Pada 2 Januari 1492, pihak Granada diwakili Menteri Abul Qasim Abdul Malik menandatangani perjanjian damai dengan pihak Kristen. Dalam proses penandatanganan ini, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella memasuki ruangan Istana Alhamra. Pada tahun itu juga, Ferdinand dan Isabella menerima kunci kota Granada secara resmi. Para pendeta Kristen kemudian tinggal di Masjid Agung kota yang sejak hari itu juga diubah menjadi gereja.

Raja kecil Abu Abdillah angkat kaki dari istananya. Ia harus meninggalkan istana dan kejayaan yang telah diwariskan para pemimpin muslim sebelumnya selama berabad-abad. Air matanya menetes memandang Granada dari kejauhan. Saat itulah ibunya, bernama Aisyah berteriak kepadanya, “Menangislah, menangislah, menangislah. Kamu menangis seperti perempuan. Raja yang tidak bisa mempertahankan sesuatu selayaknya laki-laki.” Demikianlah akhir kisah Granada, kota indah yang pernah ada, pusat peradaban dan ilmu pengetahuan.

Ummat Islam meninggalkan Granada

Sejumlah kaum muslimin menetap di Granada dan sejumlah kota di Andalusia, namun mereka dianiaya. Ummat Islam dilarang beribadah di masjid, dilarang shalat dan ritual keagamaan Islam lainnya, dilarang berbahasa Arab, bahkan di tahun-tahun berikutnya mereka dipaksa masuk Kristen. Jika tidak, mereka akan dihukum mati oleh Dewan Inquisisi.

Kolam air mancur dengan 12 patung singa dalam Alhamra

Hal ini mengakibatkan banyak ummat Islam yang mengungsi keluar dari Andalusia yang bukan lagi menjadi negeri Islam dan tidak bisa menjamin keamanan bagi nyawa, agama, dan harta mereka. Di antara mereka terdapat ulama, seperti Ibnul Khathib yang hijrah ke Maghrib, dan Ibnul Azraq yang hijrah ke Aljazair. Sementara itu, Raja Kecil Abu Abdillah menuju kota Fez, dan menetap di sana hingga wafat tahun 924.

Sebab Jatuhnya Granada

➤Para pemimpin Islam sibuk berkonflik dan berselisih sesama mereka demi kekuasaan dan jabatan.

➤Sementara itu, musuh bersatu untuk menghancurkan Islam.

➤Diserahkannya satu per satu benteng ke tangan musuh.

➤Munculnya pemimpin-pemimpin pengkhianat.

➤Pemimpin-pemimpin itu meminta bantuan kepada pihak Kristen untuk melawan saudara mereka sesama muslim.


0 komentar:

Posting Komentar