02.20 -
1 comment
Perkembangan Islam di Turki
Turki
pada masa Dinasti Utsmani
Turki memiliki sejarah
yang gemilang. Saat kepemimpinan Islam berada di bawah Turki Utsmani, Islam
mengalami banyak kemajuan terutama dari sisi kemiliteran. Mereka pernah
berkuasa selama delapan abad, sejak 1281
hingga 1924 M. Pengaruh dinasti Turki Utsmani menjangkau wilayah yang sangat
luas hingga ke Eropa Timur, Asia Kecil, Asia Tengah, Timur Tengah, Mesir, dan
Afrika Utara.[1]
Pada masa sultan
Muhammad II (Muhammad al-Fatih), umat Islam berhasil menaklukkan Kota Konstantinopel,
kota yang merupakan pusat agama Kristen Ortodoks dan menyimpan banyak ilmu
pengetahuan.[2]
Ketika menaklukkan kota yang merupakan Ibukota imperium Romawi Timur itu,
Sultan Muhammad al-Fatih mengganti nama kota itu menjadi Islambul (Istanbul)
yang berarti kota Islam dan menjadikannya sebagai ibukota. Ia memerintahkan
agar azan dikumandangkan di Gereja Aya Sophia sebagai pengumuman bahwa gereja
itu diubah menjadi masjid.[3] Di
antara Negara-negara muslim, Turki Utsmani merupakan Negara yang dapat
mendirikan kerajaan yang paling besar dan paling lama berkuasa.
Keruntuhan Khilafah
Utsmani dan lahirnya Sekularisasi
Pada tahun 1915, Ketika
Perang Dunia I meletus, Turki bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami
kekalahan. Akibatnya, kekuasaan kerajaan Turki Utsmani semakin terpuruk. Partai
Persatuan dan Kemajuan Utsmani memberontak
kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifahan Utsmani dan membentuk
Turki modern pada tahun 1924 M. semua daerah kekuasaan Utsmani yang luas, baik
di Asia maupun di Afrika diambil oleh negara-negara Eropa yang menang.
Pada tahun 1923,
Mustafa Kemal Ataturk ditetapkan sebagai presiden Republik Turki sepanjang
hidup. Ia sebagai kepala pemerintah, dan sebagai kepala Republican People’s party (Partai Republik). Rezim ini tidak
mentolerir partai oposisi kecuali terhadap Progressive Party tahun 1924 dan
Liberal Party pada tahun 1929 dan 1930, meskipun dalam waktu yang sangat
singkat.
Partai Republik
merupakan instrument rezim terbesar di turki dan beberapa dinas perkantoran. Rezim
ini menyebarkan informasi kemajuan pertanian, mengorganisri program pendidikan,
dan mengajarkan idiologi nasional dan sekuler kepada masyarakat.[4]
Pada masa Kemal, ulama dan bangsawan lokal dikucilkan dan pekerjaan tokoh-tokoh
agama semakin sempit sehingga sekolah-sekolah agama semakin kurang diminati.[5]
Tujuan utama turki Kemalis
adalah pembangunan ekonomi dan modernisasi kultural. Kebijakan rezim kemalis
yang paling penting adalah revolusi kultural. Mustafa kemal berusaha memasukkan
massa ke dalam frame work ideologis
dan kultural rezim republik, merenggangkan keterikantan masyarakat umum
terhadap Islam, dan mengarahkan mereka kepada pola kehidupan barat dan sekuler.
Rezim kemalis menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam.[6]
Kesultanan Utsmani
dihapuskan pada tahun 1923, sedang khilafah dihapuskan pada tahun 1924. Pada
tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang (illegal) dan dihancurkan. Pada 1927 pemakaian
turbus dilarang. Pada tahun `1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan
tulisan arab dan mulai dilancrkan upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan
bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan
menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku dengan pola nama barat. Dalam
rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab
hukum swiss menggantikan hukum syariah. Demikianlah, Islam dilepaskan dan
diasingkan dalam kehidupan masyarakat dan simbol-simbol ketergantungan bangsa
turki terhadap kultur tradisional digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan,
dan beberapa system identitas modern lainnya.[7]
Undang-undang Keluarga
1924 mengharamkan poligami, dan menjadikan suami dan istri berkedudukan sama
dalam perceraian. 1934 kaum wanita diberi hak untuk dicalonkan dalam pemilihan
nasional. Pada tahun 1935 beberapa perwakilan wanita terpilih dalam parlemen Turki.[8]
Turki Masa Kini
Meski
dibendung oleh konstitusi Sekuler, umat Islam di Turki sadar betul bahwa mereka
adalah umat Islam dan memiliki sejarah Islam yang gemilang di masa lalu. Kini,
sedikit demi sedikit, masyarakat Islam di Turki mulai menunjukkan identitas
keislaman mereka diantaranya dengan berjilbab. Tren jilbab di Turki tak bisa
dibendung. Hasil
survei terbaru yang dirilis Yayasan Studi Ekonomi dan Sosial yang berbasis di
Istanbul menunjukkan, 60 persen perempuan Turki kini mengenakan jilbab.
Semarak
jilbab itu juga diikuti dengan menjamurnya produk busana muslim di Turki.[9]
Jilbab yang dilarang pemakaiannya pada masa lalu, kini diopinikan sebagai hak
perempuan yang harus dihormati. Jilbab kini juga mulai memasuki wilayah
pendidikan. Setelah melalui perjuangan yang cukup keras, kini mulai terlihat
banyak mahasiswi mengenakan jilbab di kampus-kampus. Bahkan ada tiga muslimah
berjilbab di Istana Negara, mereka adalah Hayrunnisa Gul yang bernama asli
Hayrunnisa Oyzurt, istri dari presiden Abdullah Gul yang menjabat sebagai
presiden Turki ke-11 dari 27 Agustus 2007 hingga sekarang. Kedua adalah Emine
Erdogan. Ia merupakan istri dari Perdana Menteri Turki sekarang, Recep Tayyip
Erdogan. Yang terakhir mewarnai Istana Turki dengan jilbab adalah istri
Menteri Luar Negeri Turki, Sare Davutoglu yang kini berkiprah juga sebagai dokter.[10]
Kini, di Turki juga orang-orang dilarang
menghina Islam. Jika dulu Turki dikenal sangat sekuler sehingga identitas Islam
dimusuhi dan menghina agama tidak dipermasalahkan, kini menghina terhadap Islam
bisa berurusan dengan pengadilan. Itulah yang dialami oleh musisi terkenal
Fazil Say. Meskipun ia seorang pianis kenamaan, pengadilan Istanbul pada bulan
April 2013 menjatuhkan hukuman percobaan 10 bulan terhadap Say karena menghina
Islam melalui twitter.[11]
Upaya "islamisasi" juga
difasilitasi pemerintah dengan rencana mengaktifkan kembali Masjid Aya Sophia
sebagai tempat ibadah umat Muslim dan mengajarkan Al-Qur'an di sekolah-sekolah umum.
Semua ini tak terlepas dari pemerintahan Presiden Abdullah Gul, dan perdana
Menteri, Recep Tayyip Erdogan yang kembali memenangkan pemilu Turki pada tahun
2011. Erdogan secara perlahan mengurangi
sekularitas Turki. Itu terlihat dari banyaknya simbol Islam di jalan-jalan
Istanbul, seperti jilbab. Recep tayyip Erdogan, berniat menghapus larangan
mengenakan jilbab yang dikenakan bagi mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di
negaranya. Larangan jilbab itu dikatakannya telah melanggar kebebasan beragama.
Turki juga mulai kembali mengajarkan
al-Qur’an dan menulis Arab. Sebelumnya Turki memang melarang pengajaran
Al-Qur'an dan bahasa Arab di sekolah-sekolah Turki selama seratus tahun telah
membuat masyarakat Turki banyak yang tidak bisa membaca Al-Quran dan menulis
Arab. Padahal, Turki pernah menjadi pusat peradaban Islam selama lima abad
Khilafah Turki Usmani.
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (cet.2, Jakarta:
Amzah, 2010), h. 194.
[2] Ibid., h. 199.
[3] Tim Riset dan Studi Islam Mesir,
Ensiklopedi Sejarah Islam (cet.1,
Jakarta: Pustaka Kautsar, 2013), h. 169-170.
[4]Ira M. Lapidus, Sejarah sosial umat islam bagian ketiga (cet.1, Jakarta: PT.Raja Grafindo persada,
1999), h. 88
[5] Syafiq A. Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki
(cet.1, Jakarta: Logos, 1997), h. 161.
[6] Ira M. Lapidus, op.cit., h. 89.
[7] Ibid, h. 91.
[8] Ibid, h.92.
[9]
http://www.bersamadakwah.com/2012/05/tren-jilbab-di-turki-tak-terbendung.html
[10]
http://eikavio.wordpress.com/2012/10/02/trio-muslimah-pegiat-jilbab-di-istana-sekuler-turki/
[11]
http://www.bersamadakwah.com/2013/04/hina-islam-di-twitter-pengadilan-turki.html