22.49 -
Sejarah Islam
No comments
Hubungan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dengan Agama Nasrani
Perjumpaan dengan
Pendeta Bahira
Sebelum menjadi Nabi
dan Rasul, Muhammad telah bertemu dan berhubungan dengan orang-orang Nasrani.
Ketika masih berusia 12 tahun, Nabi dibawa serta Abu Thalib berdagang ke Syam
hingga sampai di satu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam
dan merupakan ibu Kota Hauran. Di negeri ini dikenal seorang Rahib (pendeta)
yang bernama Bahira. Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka
padahal sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal itu, kemudian berjalan di
antara mereka hingga sampai kepada Nabi Muhammad lalu memegang tangannya dan
berkata, “Inilah penghulu alam semesta, inilah utusan Tuhan alam semesta, dia
diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini.” Bahira mengetahuinya
melalui tanda kenabian yang terletak pada bagian tulang rawan pundaknya yang
berbentuk seperti apel.[1]
Dan ini tercantum dalam kitab suci agama Nasrani. Bahira menjamu mereka secara
istimewa. Setelah itu, dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan
keponakannya tersebut ke Mekah dan tidak membawanya ke Syam sebab khawatir bila
tertangkap oleh orang-orang Romawi dan Yahudi.
Menemui Waraqah bin
Naufal
Setelah Muhammad
menerima wahyu untuk pertama kalinya di Gua Hira, ia pulang ke rumah dan
bertemu istrinya, Khadijah. Khadijah langsung membawa Nabi Muhammad menemui
sepupunya yang beragama Nasrani bernama Waraqah bin Naufal. Ketika di rumah
Waraqah, Nabi menceritakan apa yang dialaminya. Mendengar itu, Waraqah berkata
kepadanya, “Itu adalah makhluk kepercayaan Allah (Jibril) yang telah Allah utus
kepada Nabi Musa. Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu. Andai saja
aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya, “Apakah
mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, tidak seorang pun yang membawa
seperti yang engkau bawa ini melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup
pada saat itu niscaya aku akan membelamu dengan segenap jiwa ragaku.”
Tidak lama setelah itu,
Waraqah meninggal dunia sebelum melihat Nabi dimusuhi oleh kaumnya.
Hijrah Ke Habasyah
Ketika penyiksaan
terhadap orang-orang beriman oleh orang-orang Musyrik Quraisy semakin berat dan
hebat, Nabi memerintahkan sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah dalam rangka
menyelamatkan agama mereka dari fitnah. Nabi mengetahui bahwa Najasy, Raja Habasyah
adalah seorang raja yang adil dan tidak ada seorang pun di sisinya yang
terzalimi. Montgomery Watt menyebutkan beberapa alasan Nabi mengirim para
sahabat ke Habasyah, yaitu menghindari kesulitan dan penganiayaan di Mekah.
Nabi khawatir begitu banyak penderitaan yang nantinya mengakibatkan kemurtadan
bagi sahabatnya yang baru masuk Islam. Namun, Watt juga menyebutkan bahwa
mungkin saja para sahabat diutus agar terlibat dalam perdagangan dan agar
mendapatkan bantuan militer dari Habasyah sebagaimana Abd al-Muttalib ingin
mendapatkan dukungan militer dari Abrahah.[2]
Tiga Agama Besar
bertemu di Madinah
Ketika sedang
sengit-sengitnya terjadi polemik antara Nabi saw dengan masyarakat Yahudi,
delegasi Nasrani dari Najran tiba di Madinah, terdiri dari enampuluh kendaraan.
Di antara mereka terdapat orang-orang terkemuka dan yang sudah mempelajari dan
menguasai seluk beluk agama mereka. Boleh jadi delegasi ini datang ke Madinah
hanya karena mereka sudah tahu adanya pertentangan antara nabi dengan pihak
Yahudi, dengan harapan mereka agar dapat mengobarkan pertentangan itu lebih
hebat lagi sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian pihak nasrani
yang ada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik
Yahudi dan sikap permusuhan kabilah-kabilah arab.[3]
Di sinilah (yasrib)
tiga agama bertemu. Nabi telah mengadakan perjanjian damai dengan pihak yahudi.
Akan tetapi beliau mengajak agama nasrani untuk saling bermubahalah. Akan
tetapi pihak Kristen telah mengadakan musyawarah halsilnya bahwa mereka tidak
akan bermubahalah. Biarlah mereka tetap kepada keislaman, dan mereka tetap
kepada kekristenan mereka.[4]
Pengiriman Surat kepada
Raja-raja Nasrani
Pada akhir tahun keenam
Hijriah, ketika Nabi pulang dari Hudaibiyah, ia menulis surat kepada raja-raja
untuk mengajak mereka masuk Islam. Di antara raja yang dikirimi surat oleh Nabi
adalah Raja Najasy di Habasyah dan Raja Mesir, Muqauqis. Keduanya beragama
Nasrani. Raja Najasyi dengan senang hati menerima surat itu. Pada tahun
kesembilan Hijriyah, Najasy meninggal dunia dan Nabi mengumumkan wafatnya serta
melaksanakan shalat ghaib atasnya. Muhammad Husain Haekal mendukung pendapat
yang menyebutkan najasy masuk islam.[5] Adapun,
Raja Muqauqis memberikan hadiah kepada Nabi. Ia mengirim dua orang perempuan
bernama Mariyah dan Sirin. Meskipun dia antusias dan menerima baik surat Nabi
Muhammad, Muqauqis tetap pada agama Nasrani. Disebutkan bahwa dia tidak sampai
menganut Islam karena dia takut Kerajaan Mesir akan direnggut oleh Romawi.[6]
Mariyah al-Qibtiyah
berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu tempatnya tidak di samping Masjid
seperti istri-istri Nabi saw yang lain. Nabi menempatkannya di Aliyah, di luar
kota Madinah, sekarang bernama Masyrabat Um Ibrahim, dalam sebuah rumah di
tengah-tengah kebun anggur. Maria diterima nabi sebagai hadiah dari Muqauqis
bersama dengan saudaranya yang perempuan, Sirin, yang kemudian diberikannya
kepada Hassan bin Tsabit.[7]
Perang melawan
orang-orang Kristen Romawi
Perang
Mu’tah
Perang Mu’tah adalah perang yang terjadi antara umat
Islam dengan Romawi. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 hijriyah
di sebuah kampung bernama Mu’tah yang terletak di dataran rendah Propinsi Balqa
di Kerajaan Syam.
Penyebab peperangan ini adalah karena seorang
sahabat bernama al-Haris bin Umair al-Azdi yang diperintahkan oleh Nabi untuk
menyampaikan surat kepada penguasa di Bushra dibunuh oleh seorang Kaisar yang
beragama Nasrani. Pembunuhan delegasi ini mengakibatkan Nabi marah dan mengirim
3000 pasukan untuk melawan mereka.[8]
Pada peperangan ini umat Islam mendapatkan kemenangan, akan tetapi tiga
komandan yang memimpin peperangan, yaitu Zaid bin Harisah, Ja’far bin Abi
Thalib, dan Abd Allah bin Rawahah gugur sebagai syahid. Pada akhirnya
kepemimpinan diambil alih oleh Khalid bin Walid, sang Pedang Allah.
Perang
Tabuk
Perang Tabuk merupakan pembalasan yang dilakukan
oleh Romawi terhadap umat Islam pada Perang Mu’tah setahun sebelumnya. Kaisar
Romawi, Heraklius telah menyiapkan 40 ribu pasukan ahli perang dan juga
merekrut Kabilah Lakhm, Judzam, dan kabilah Arab lainnya yang telah memeluk
agama Nasrani.[9]
Umat Islam berlomba-lomba menginfakkan harta untuk persiapan perang ini. Utsman
bin Affan menginfakkan 1000 dinar, 900 ekor unta dan 100 kuda. Abd al-Rahman
bin Auf menginfakkan 200 uqiyyah perak. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya
yang berjumlah 4000 dirham, begitu pula sahabat-sahabat yang lain.
Nabi memimpin sendiri peperangan ini dan membawa
30.000 prajurit. Sementara Muhammad bin Maslamah al-Anshari diangkant sebagai
penguasa sementara di Madinah. Ketika sampai di Tabuk, Nabi memberikan khutbah
kepada pasukan. Melihat pasukan kaum Muslimin, orang-orang Romawi menjadi
gentar dan berpencar-pencar di setiap perbatasan negeri mereka. Lalu Yahnah bin
Rubah, pemimpin kabilah Aylah, datang mengajak berdamai dengan Rasulullah dan
memberikan jizyah kepadanya. Selanjutnya, datang juga penduduk Jarba dan Azruh
menyerahkan jizyah.[10]
Nabi pun menulis surat jaminan (perdamaian) untuk pemimpin Aylah.
Kini kabilah-kabilah yang dulu mengabdi kepada
kekaisaran Romawi, berpindah tangan kepada kaum Muslimin. Pasukan Islam kembali
ke Madinhah dengan meraih kemenangan tanpa melakukan peperangan.
[1] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri,
al-Rahiq al-Makhtum, h.71-72.
[2] Lihat: Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 113-115.
[3] Muhammad Husain Haekal, hayatu Muhammad, h.223.
[4] Ibid., h.226.
[5] Ibid., h.436-437.
[6] Ibid., h.436.
[7] Ibid., h.501
[8] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri,
op.cit., h.575.
[9] Ibid., h. 641.
[10] Ibid, h. 467-468.
0 komentar:
Posting Komentar