Selasa, 03 November 2015

Hubungan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dengan Agama Nasrani


Perjumpaan dengan Pendeta Bahira
Sebelum menjadi Nabi dan Rasul, Muhammad telah bertemu dan berhubungan dengan orang-orang Nasrani. Ketika masih berusia 12 tahun, Nabi dibawa serta Abu Thalib berdagang ke Syam hingga sampai di satu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibu Kota Hauran. Di negeri ini dikenal seorang Rahib (pendeta) yang bernama Bahira. Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal itu, kemudian berjalan di antara mereka hingga sampai kepada Nabi Muhammad lalu memegang tangannya dan berkata, “Inilah penghulu alam semesta, inilah utusan Tuhan alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini.” Bahira mengetahuinya melalui tanda kenabian yang terletak pada bagian tulang rawan pundaknya yang berbentuk seperti apel.[1] Dan ini tercantum dalam kitab suci agama Nasrani. Bahira menjamu mereka secara istimewa. Setelah itu, dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Mekah dan tidak membawanya ke Syam sebab khawatir bila tertangkap oleh orang-orang Romawi dan Yahudi.

Menemui Waraqah bin Naufal
Setelah Muhammad menerima wahyu untuk pertama kalinya di Gua Hira, ia pulang ke rumah dan bertemu istrinya, Khadijah. Khadijah langsung membawa Nabi Muhammad menemui sepupunya yang beragama Nasrani bernama Waraqah bin Naufal. Ketika di rumah Waraqah, Nabi menceritakan apa yang dialaminya. Mendengar itu, Waraqah berkata kepadanya, “Itu adalah makhluk kepercayaan Allah (Jibril) yang telah Allah utus kepada Nabi Musa. Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu. Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa ini melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membelamu dengan segenap jiwa ragaku.”

Tidak lama setelah itu, Waraqah meninggal dunia sebelum melihat Nabi dimusuhi oleh kaumnya.

Hijrah Ke Habasyah
Ketika penyiksaan terhadap orang-orang beriman oleh orang-orang Musyrik Quraisy semakin berat dan hebat, Nabi memerintahkan sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah dalam rangka menyelamatkan agama mereka dari fitnah. Nabi mengetahui bahwa Najasy, Raja Habasyah adalah seorang raja yang adil dan tidak ada seorang pun di sisinya yang terzalimi. Montgomery Watt menyebutkan beberapa alasan Nabi mengirim para sahabat ke Habasyah, yaitu menghindari kesulitan dan penganiayaan di Mekah. Nabi khawatir begitu banyak penderitaan yang nantinya mengakibatkan kemurtadan bagi sahabatnya yang baru masuk Islam. Namun, Watt juga menyebutkan bahwa mungkin saja para sahabat diutus agar terlibat dalam perdagangan dan agar mendapatkan bantuan militer dari Habasyah sebagaimana Abd al-Muttalib ingin mendapatkan dukungan militer dari Abrahah.[2]

Tiga Agama Besar bertemu di Madinah
Ketika sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Nabi saw dengan masyarakat Yahudi, delegasi Nasrani dari Najran tiba di Madinah, terdiri dari enampuluh kendaraan. Di antara mereka terdapat orang-orang terkemuka dan yang sudah mempelajari dan menguasai seluk beluk agama mereka. Boleh jadi delegasi ini datang ke Madinah hanya karena mereka sudah tahu adanya pertentangan antara nabi dengan pihak Yahudi, dengan harapan mereka agar dapat mengobarkan pertentangan itu lebih hebat lagi sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian pihak nasrani yang ada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan kabilah-kabilah arab.[3]

Di sinilah (yasrib) tiga agama bertemu. Nabi telah mengadakan perjanjian damai dengan pihak yahudi. Akan tetapi beliau mengajak agama nasrani untuk saling bermubahalah. Akan tetapi pihak Kristen telah mengadakan musyawarah halsilnya bahwa mereka tidak akan bermubahalah. Biarlah mereka tetap kepada keislaman, dan mereka tetap kepada kekristenan mereka.[4]

Pengiriman Surat kepada Raja-raja Nasrani
Pada akhir tahun keenam Hijriah, ketika Nabi pulang dari Hudaibiyah, ia menulis surat kepada raja-raja untuk mengajak mereka masuk Islam. Di antara raja yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Najasy di Habasyah dan Raja Mesir, Muqauqis. Keduanya beragama Nasrani. Raja Najasyi dengan senang hati menerima surat itu. Pada tahun kesembilan Hijriyah, Najasy meninggal dunia dan Nabi mengumumkan wafatnya serta melaksanakan shalat ghaib atasnya. Muhammad Husain Haekal mendukung pendapat yang menyebutkan najasy masuk islam.[5] Adapun, Raja Muqauqis memberikan hadiah kepada Nabi. Ia mengirim dua orang perempuan bernama Mariyah dan Sirin. Meskipun dia antusias dan menerima baik surat Nabi Muhammad, Muqauqis tetap pada agama Nasrani. Disebutkan bahwa dia tidak sampai menganut Islam karena dia takut Kerajaan Mesir akan direnggut oleh Romawi.[6]

Mariyah al-Qibtiyah berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu tempatnya tidak di samping Masjid seperti istri-istri Nabi saw yang lain. Nabi menempatkannya di Aliyah, di luar kota Madinah, sekarang bernama Masyrabat Um Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah kebun anggur. Maria diterima nabi sebagai hadiah dari Muqauqis bersama dengan saudaranya yang perempuan, Sirin, yang kemudian diberikannya kepada Hassan bin Tsabit.[7]

Perang melawan orang-orang Kristen Romawi

Perang Mu’tah
Perang Mu’tah adalah perang yang terjadi antara umat Islam dengan Romawi. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 hijriyah di sebuah kampung bernama Mu’tah yang terletak di dataran rendah Propinsi Balqa di Kerajaan Syam.

Penyebab peperangan ini adalah karena seorang sahabat bernama al-Haris bin Umair al-Azdi yang diperintahkan oleh Nabi untuk menyampaikan surat kepada penguasa di Bushra dibunuh oleh seorang Kaisar yang beragama Nasrani. Pembunuhan delegasi ini mengakibatkan Nabi marah dan mengirim 3000 pasukan untuk melawan mereka.[8] Pada peperangan ini umat Islam mendapatkan kemenangan, akan tetapi tiga komandan yang memimpin peperangan, yaitu Zaid bin Harisah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abd Allah bin Rawahah gugur sebagai syahid. Pada akhirnya kepemimpinan diambil alih oleh Khalid bin Walid, sang Pedang Allah.

Perang Tabuk
Perang Tabuk merupakan pembalasan yang dilakukan oleh Romawi terhadap umat Islam pada Perang Mu’tah setahun sebelumnya. Kaisar Romawi, Heraklius telah menyiapkan 40 ribu pasukan ahli perang dan juga merekrut Kabilah Lakhm, Judzam, dan kabilah Arab lainnya yang telah memeluk agama Nasrani.[9] Umat Islam berlomba-lomba menginfakkan harta untuk persiapan perang ini. Utsman bin Affan menginfakkan 1000 dinar, 900 ekor unta dan 100 kuda. Abd al-Rahman bin Auf menginfakkan 200 uqiyyah perak. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya yang berjumlah 4000 dirham, begitu pula sahabat-sahabat yang lain.

Nabi memimpin sendiri peperangan ini dan membawa 30.000 prajurit. Sementara Muhammad bin Maslamah al-Anshari diangkant sebagai penguasa sementara di Madinah. Ketika sampai di Tabuk, Nabi memberikan khutbah kepada pasukan. Melihat pasukan kaum Muslimin, orang-orang Romawi menjadi gentar dan berpencar-pencar di setiap perbatasan negeri mereka. Lalu Yahnah bin Rubah, pemimpin kabilah Aylah, datang mengajak berdamai dengan Rasulullah dan memberikan jizyah kepadanya. Selanjutnya, datang juga penduduk Jarba dan Azruh menyerahkan jizyah.[10] Nabi pun menulis surat jaminan (perdamaian) untuk pemimpin Aylah.

Kini kabilah-kabilah yang dulu mengabdi kepada kekaisaran Romawi, berpindah tangan kepada kaum Muslimin. Pasukan Islam kembali ke Madinhah dengan meraih kemenangan tanpa melakukan peperangan.




[1] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, h.71-72.
[2] Lihat: Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 113-115.
[3] Muhammad Husain Haekal, hayatu Muhammad, h.223.
[4] Ibid., h.226.
[5] Ibid., h.436-437.
[6] Ibid., h.436.
[7] Ibid., h.501
[8] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, op.cit., h.575.
[9] Ibid., h. 641.
[10] Ibid, h. 467-468.

0 komentar:

Posting Komentar