19.02 -
Aku Bercerita
No comments
Mencintai, Namun Tak Memiliki
Pernah dalam sebuah
acara di radio, seorang pelajar SMA menelepon dan menumpahkan problemnya.
Sambil
terisak-isak layaknya anak kecil dia menceritakan tentang kekasihnya yang
mengkhianati cintanya. Sang penyiar dengan sabar mendengarkan curahan hati
pemuda itu dan kemudian menenangkannya. Hingga terucap kata dari pemuda
itu,”Selama saya masih hidup saya tidak biarkan dia bahagia…” Duh, malangnya.
“Cinta tidak
harus memiliki” Mungkin sederetan kata ini sudah biasa didengar oleh mereka
yang sedang broken heart. Mencintai seseorang tapi sayang cintanya tak bersambut.
Memendam rasa tapi kenyataannya dia tidak ditakdirkan menjadi pasangan dalam
mengarungi bahtera kehidupan dunia ini.
Kisah dari tanah Arab
yang masyhur di telinga kita, Qais yang jatuh cinta pada gadis cantik bernama
Layla (dalam kisah Layla-Majnun). Dengan penuh percaya diri Qais beserta
keluarga bertandang ke rumah Layla dengan maksud melamarnya. Tapi siapa menduga
keluarga Layla menolak lamaran keluarga terhormat itu. Hati Qais pedih tak
terkira. Samurai serasa menyayat-nyayat dirinya. Jiwanya selalu merindu Layla,
pikirannya tak henti mengenang, lidahnya terus menyebut namanya. Layla, Layla,
Layla. Semakin hari kesehatannya makin memburuk. Tapi sayangnya Layla
dinikahkan dengan pemuda lain. Mendengar kabar itu akhirnya Qais menjadi gila.
Gila dalam bahasa arab adalah Majnun.
Sedikit terinspirasi
dari kisah Layla-Majnun, Shakespeare melahirkan karya Romeo dan Juliet. Kisah
cinta yang berakhir dengan keduanya menenggak racun karena tak ingin berpisah.
Sehidup semati. Kira-kira begitu dibilang.
Mungkin banyak orang
menganggap itulah cinta suci. Cinta yang tak berbaur dengan debu-debu nafsu.
Tapi, saya kira tidak ada salahnya kita silang pendapat karena pendapat manusia
manapun boleh diterima dan boleh ditolak (kecuali Rasulullah). “Mencintai tak
harus memiliki” disitulah letak kesalahan kisah Qais dan Romeo, tidak mengenal
kata-kata itu. Hanya saja jiwa mereka telah rapuh. Dipermainkan dan menjadi
budak cinta. Dan mati karena cinta buta. sungguh tragis.
Cinta tumbuh dari hati
yang terdalam, hadir dengan ikhlas meski tak diundang sebelumnya. Jadi
begitulah cinta tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar
seseorang mau mencintai kita.
Dialah Muawiyah, raja
pertama Dinasti Umawiyah yang jatuh cinta pada gadis desa yang cantik dan
polos. Dengan kedudukannya dia mampu mempersuntingnya. Dibawanya ke istananya
yang dipenuhi pelayan-pelayan yang siap membawakan apapun yang diminta serta
menjalankan apapun yang diperintahkan.
Hari berganti hari,
namun bagi wanita itu istana baginya seperti bui yang mengekang. Makanan lezat
terasa hambar. Hingga suatu hari Muawiyah mendengar istrinya itu melantunkan
bait-bait syair kerinduannya pada seorang pemuda di kampungnya. Dialah pemuda
pujaannya. Pemuda yang dicintainya. Dan dia bukan suaminya kini, Muawiyah.
Akhirnya dengan berat hati Muawiyah mentalak istrinya itu dan dipulangkan ke dusunnya.
Itulah cinta. selalu
penuh misteri. Tak mudah tertebak. Sosok Muawiyah yang tampan, keturunan
terhormat, tinggal di istana kekhalifahan tak mampu memaksakan seorang gadis
dusun untuk mencintainya. Karena memang cinta tidak diukur dengan materi atau
sebagainya. Tanpa paksaan. Seringkali, seorang yang paling mencintai kita tidak
menjadi yang paling kita cintai. Dan mungkin, orang yang paling kita cintai
membuat hati kita tersayat-sayat. Seperti kisah Mu’awiyah di atas.
Mencintai dan dicintai
bukanlah suatu yang dapat kita paksakan karena masing-masing manusia punya
perasaan tersendiri yang memutuskan siapa yang pantas dan tidak pantas untuk
dicintai.
Dialah Nailah, gadis
delapan belas tahun yang dinikahi Utsman bin Affan (salah satu sahabat
Rasulullah). Saat itu usia Utsman tidak muda lagi. Lebih pantas menjadi bapak
bagi Nailah. Menyadari dirinya tidak muda lagi Utsman memberanikan diri
bertanya, “Apakah engkau tidak keberatan menikah dengan orang yang sudah tua
sepertiku?” sambil menunduk tersipu-sipu Naylah menjawab,”Aku termasuk wanita
yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua.” “Tapi aku melampau
ketuaanku.”kembali Utsman berkata. Mendengar itu Nailah tersenyum, menunduk,
dan kembali berkata,”Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Dan itu jauh lebih aku sukai dari
segala-galanya.” Duhai, indahnya perkataan itu.
Itulah cinta. Cinta
yang lahir dan hadir dari hati yang tulus tanpa ada paksaan. Lalu ketika Utsman
syahid (wafat) tidak sedikit yang datang meminang Nailah. Dengan kerendahan
hati Nailah menolaknya dan menjawab,”Tidak mungkin ada seorang manusia yang
bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Semoga Allah mempertemukan
mereka kembali dalam kenikmatan tanpa akhir di surga-Nya kelak.
Biarkan cinta itu
mengalir apa adanya………..
0 komentar:
Posting Komentar