Kamis, 04 Desember 2014

Pernikahan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pertama kali ikut kafilah dagang ke Syam pada usia 12 tahun yang dipimpin oleh Abu Thalib.[1] Pada usia 25 tahun Nabi Muhammad kembali pergi berdagang ke Syam menjalankan barang dagangan milik Khadijah radhiyallahu anha. Ibnu Ishaq menuturkan Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, cerdas, dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang-orang untuk menjalankan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka.

Ketika Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan, dan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka diapun mengirim utusan dan menawarkan kepadanya agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Nabi Muhammad pergi bersama seorang pembantu bernama Maisarah.

Setelah pulang dari Syam dengan membawa keuntungan yang melimpah yang tidak pernah dilihat oleh Khadijah keuntungan sebesar itu, dan Maisarah juga mengabarkan bahwa Muhammad memiliki sifat yang mulia, cerdik, dan jujur, maka Khadijah meminta rekannya, Nafisah binti Munyah agar menemui Nabi Muhammad dan membukakan jalan agar mau menikah dengannya. Sebelumnya, banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang ingin menikahinya tapi ditolak oleh Khadijah.

Nabi Muhammad menerima tawaran itu lalu melalui paman-pamannya. Mereka menemui paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Ini terjadi dua bulan sepulang dari Syam. Mas kawin 20 ekor unta muda. Usia Khadijah saat itu adalah 40 tahun. Saat itu dia adalah wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi Muhammad. Nabi Muhammad tidak pernah menikahi wanita lain sampai Khadijah meninggal dunia. Dia juga adalah wanita yang pertama masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyebarkan Islam.[2]

Khadijah adalah puteri Khuwailid bin Asad bin Abd al-Uzza bin Qushay bin Kilab al-Quraisyi al-Asadi. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah dinikahi Abu Halah bin Zurarah al-Tamimi. Ketika Abu Halah meninggal, ia dinikahi oleh Atiq bin Aidz bin Abd Allah al-Makhzumi. Tapi keduanya akhirnya bercerai.[3]
Anak yang lahir dari pernikahan Nabi dan Khadijah adalah al-Qasim, al-Thayyib, al-Thahir, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah.[4] Semua putra Khadijah meninggal dunia saat masih kecil. Sedangkan semua putrinya sempat menjumpai dan masuk Islam serta ikut hijrah ke Madinah, hanya saja mereka semua meninggal saat Nabi saw. masih hidup kecuali Fatimah, ia meninggal enam bulan setelah ayahnya meninggal.[5]

Pernikahan Nabi Muhammad Pasca Kematian Khadijah

Dua bulan setelah kematian Abu Thalib, Khadijah menyusulnya. Tepatnya pada bulan Ramadhan tahun 10 kenabian dalam usia 65 tahun.[6] Ini menyebabkan Nabi Muhammad merasa sedih dan berduka. Khadijah yang menjadi sandarannya, tempat mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan sikap Khadijah yang lemah lembut, dengan hati yang bersih dan keimannya yang kuat. Khadijah lah yang selalu menghiburnya ketika ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Dia adalah bidadari yang penuh kasih sayang. Karena beruntunnya kesediah demi kesedihan pada tahun itu, maka kemudian dinamakan dengan ‘Tahun Kesediah’ yang dikenal dalam buku-buku Sirah dan Tarikh.[7]

Setelah kematian Khadijah, Nabi menikah dengan beberapa wanita. Berikut istri-istri Nabi yang disebutkan oleh para penulis Sirah:

1.      Saudah binti Zam’ah
Nabi Muhammad shallallahu alihi wa sallam menikah dengan Saudah pada bulan Syawal tahun 10 kenabian. Saudah adalah wanita yang awal masuk Islam dan ikut hijrah ke Habasyah. Sebelumnya, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr yang juga berhijrah ke Habasyah, akan tetapi ia meninggal sepulangnya ke Mekah. Ketika telah lewat masa ‘iddah, barulah Nabi melamar dan menikahi Saudah. Dia adalah wanita yang pertama dinikahi oleh Nabi sepeninggal Khadijah.[8]

2.      Aisyah binti Abu Bakar
Pernikahan Nabi dengan Aisyah merupakan perintah dari Allah setelah Khadijah wafat.[9] Dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda, “Aku bermimpi melihatmu (Aisyah) selama 3 malam berturut-turut. Datang denganmu seorang malaikat di dalam sobekan kain sutera ia mengatakan, “Ini adalah isterimu.” Ketika aku singkap kain sutera yang menjadi penutupnya dari wajahmu tiba-tiba kamu yang ada dibaliknya. Lalu saya katakan, “Jika yang datang denganmu ini dari sisi Allah, maka aku akan laksanakan.”
Nabi menikahi Aisyah tidak lama setelah menikahi Saudah, akan tetapi Nabi menjalani kehidupan dengannya setelah 3 tahun setelah peristiwa Perang Badar.[10]

3.      Ummu Salamah
Nama aslinya adalah Hindun binti Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumiyah al-Qurasyiah. Bapaknya adalah seorang tokoh Quraisy yang disegani dan masyhur. Sebelumnya Ummu Salamah telah menikah dengan Abu Salamah, yaitu Abd Allah bin Abd al-Asad al-Makhzumy, seorang sahabat yang telah berhijrah dua kali.[11] Ketika Abu Salamah wafat, beberapa sahabat datang melamarnya, tapi semua ditolak. Hingga Nabi saw. yang datang melamar dan menikahinya.

4.      Ummu Habibah
Dia adalah Ramlah binti Abu Sufyan. Bapaknya adalah seorang pemimpin orang-orang musyrik di Mekah dalam memusuhi Nabi dan para sahabat. Akan tetapi dia adalah wanita yang mendapatkan hidayah, dan bersabar atas ujian yang menimpanya. Sebelum menikah dengan Nabi, ia menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy yang juga telah masuk Islam. Tapi, Ubaidillah masuk agama Nasrani di Habasyah sehingga Ummu Habibah bercerai dengannya. Ummu Habibah ikut rombongan yang berhijrah ke Habasyah. Di sana dia melahirkan seorang puteri yang diberi nama Habibah sehingga ia diberi kunyah Ummu Habibah.[12]

5.      Zainab binti Jahsy
Nama aslinya adalah Barrah (wanita yang baik). Ibunya bernama Umaimah binti al-Muttalib, salah satu bibi Rasulullah. Ketika Nabi saw. menikahinya, Nabi menamakannya Zainab.[13] Sebelumnya, Zainab menikah dengan bekas budak Nabi, Zaid bin Harisah.

6.      Shafiyah binti Huyay
Namanya adalah Shafiyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’ya dari cucu al-Lawy bin Israil bin Ishaq bin Ibrahim. Dia termasuk garis keturunan Nabi Harun as. Wanita mulia, memiliki garis nasab yang baik, wajah yang cantik dan baik agamanya. Sebelum masuk Islam ia dinikahi oleh Salam bin Abd al-Haqiq, lalu Kinanah bin Abd al-Haqiq. Kinanah terbunuh pada perang Khaibar dan Shafiyah menjadi tawanan umat Islam. Di sinilah Nabi menikahinya dan kemerdekaannya sebagai mahar.

7.      Juwairiyah binti Harits
Namanya adalah Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar bin Hubaib al-Khuzaiyah al-Musthaliqiyah. Ia adalah wanita yang cantik dan termasuk tawanan ketika kaum Muslimin mendapatkan kemenangan atas Bani al-musthaliq pada Perang Muraisi’. Ia berusaha menyelamatkan dirinya dari kehinaan sebagai tawanan dan kerendahan sebagai seorang budak. Ia menghadap kepada Nabi agar dirinya dibebaskan karena dia keturunan bangsawan. Nabi pun memberinya kabar gembira, bukan hanya membebaskannya tapi juga menikahinya.

8.      Maimunah binti Harits
Ia adalah Maimunah binti Harits bin Huzn bin Bujair bin al-hazm bin Ruwaibah al-Hilaliyah. Ia adalah saudara perempuan Ummu Fadhl, istri Abbas dan merupakan bibi Khalid bin Walid serta Ibnu Abbas. Awalnya Maimunah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafy sebelum masuk Islam. Nabi menawarkan diri pada Nabi dan Nabi menerimanya. Nabi menikahinya dengan mahar 400 dirham.[14]





[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Cet.39, Jakarta: Litera Antarnusa, 2010), h.49.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet.16, Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2004), h.18.

[3] Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Sirah Sahabiyah (Cet.5, Pekalongan: Maktabah Salafy Press, 2008), h.35.
[4] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah (Cet.9, Bekasi: Dar al-Falah, 2011), h.157.
[5] Shafiyyu al-Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (Cet.6, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), h.84.
[6] Ibid., h.162.
[7] Ibid., h.164.
[8] Ibid., h.165.
[9] Mahmud Mahdi al-Istanbuli, op.cit., h.52.
[10] Ibid.
[11] Ibid., h.63.
[12] Ibid., h.73.
[13] Ibid., h.78.
[14] Ibid., h.93.

0 komentar:

Posting Komentar